Skip to main content

Tarian Cinta di Hutan Papua, Kisah Reproduksi Cenderawasih Kuning-Besar

Burung Cenderawasih Kuning-Besar (Paradisaea apoda) tidak hanya memikat karena bulunya yang indah, tetapi juga dari ritual kawinnya yang unik dan memukau. Di hutan tropis Papua, burung jantan menampilkan tarian lek yang spektakuler—bukan sekadar proses biologis, melainkan sebuah “pertunjukan alam” yang menjadi bukti nyata keajaiban evolusi dan seleksi bereproduksi.

Tarian Megah di Musim Kemarau

Saat musim kemarau, antara bulan Juni hingga Oktober, aktivitas lekking Cenderawasih Kuning-Besar mencapai puncaknya. Setiap pagi sebelum matahari bersinar cerah, burung jantan akan memilih pohon tertinggi sebagai “panggung pertunjukan.” Dari sana, mereka mulai menari dengan gerakan khas sambil membuka dan mengibaskan bulu-bulu panjang berwarna kuning keemasan, menciptakan tampilan yang benar-benar memukau. Tidak hanya menari, burung jantan juga melantunkan suara panggilan khas yang bisa terdengar dari jauh. Suara ini berfungsi memikat betina sekaligus menunjukkan dominasi kepada pesaing jantan. Menariknya, dalam satu lokasi lekking, beberapa jantan juga tampil bersamaan, menjadikan kondisi ini seperti arena kompetisi spektakuler.

Sang Betina, Juri Sejati di Arena Lekking

Betina cendrawasih kuning-besar sangat selektif dalam memilih pasangan. Para betina tidak serta-merta menerima semua jantan yang unjuk gigi di lekking site. Dari kejauhan, ia mengamati tarian, postur tubuh, hingga kilau bulu para jantan, seolah sedang menilai “penampilan terbaik”. Proses ini bisa memakan waktu lama—hari demi hari, bahkan sampai berminggu-minggu. Hanya jantan dengan tarian paling memesona, tubuh proporsional, dan bulu rapi berkilau yang menjadi peluang untuk dipilih.

Empat individu cendrawasih kuning besar jantan sedang bertengger dan melakukan serangkaian gerakan tarian khas untuk menarik pasangan.

Jika hatinya sudah terpikat, betina akan mendekat dengan gerakan tenang atau memberi isyarat suara kecil sebagai tanda setuju. Perkawinan pun berlangsung singkat, hanya sekali dalam satu pertemuan. Setelah itu, betina segera pergi, membangun sarangnya sendiri, dan mengurus keturunannya tanpa campur tangan sang jantan—sebuah potret kemandirian yang luar biasa.

Ketatnya Persaingan di Arena Lekking

Hal yang cukup menarik, dalam satu musim kawin hanya sedikit jantan yang benar-benar sukses mendapatkan pasangan. Sebagian besar lainnya harus pulang dengan “tangan kosong”. Ini menjadi bukti betapa ketatnya persaingan di arena lekking—hanya jantan dengan penampilan paling prima dan tarian paling memukau yang bisa memenangkan hati betina. Sementara itu, para jantan yang gagal tidak akan menyerah. Mereka akan kembali mencoba di musim berikutnya, atau bahkan pindah ke lekking areal lain untuk mencari peluang baru.

Strategi Cerdas Reproduksi Cenderawasih

Penelitian IPB dan TSE Group yang telah dilakukan pada tahun 2022 mengungkap pola unik dalam perilaku kawin Cenderawasih Kuning-Besar. Alih-alih bertepatan dengan puncak musim buah, musim kawin justru terjadi lebih awal. Strategi ini ternyata sangat cerdas: ketika piyik menetas dan membutuhkan banyak asupan, pohon-pohon pakan sudah berbuah lebat. Sinkronisasi alami ini memastikan anak burung mendapatkan sumber makanan yang cukup sejak awal kehidupannya, sekaligus menjadi bukti bagaimana evolusi membentuk keseimbangan antara perilaku satwa dan ketersediaan sumber daya alam.

Mengapa Cenderawasih Kuning-Besar Hanya Ditemukan di Hutan Papua?

Cendrawasih Kuning Besar tertangkap kamera di Hutan Asiki, Papua Selatan

Cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), salah satu burung paling ikonik dari Tanah Papua, dikenal karena keindahan bulunya yang mencolok dan tarian kawin yang memesona. Burung yang sering dijuluki “burung surga” ini memiliki daya tarik tak hanya dari segi visual, tetapi juga dari sisi ekologi. Menariknya, cenderawasih kuning-besar hanya dapat ditemukan secara alami di hutan Papua bagian selatan dan pulau-pulau sekitarnya.

Rahasia apa yang menjadikan hutan Papua menjadi satu-satunya rumah alami bagi burung cenderawasih kuning besar? Berikut beberapa keistimewaan habitat ini begitu spesial.

Hutan Hujan Tropis yang Lembap dan Stabil

Habitat utama cenderawasih kuning-besar berada di hutan hujan tropis dataran rendah Papua. Sebuah hutan yang selalu hijau, dengan udara hangat dan lembap yang hampir tak pernah berubah sepanjang tahun. Hujan turun seolah tak pernah absen—dengan intensitas 2.500 hingga lebih dari 5.000 milimeter per tahun—menciptakan suasana basah yang menjadi surga bagi cenderawasih. Stabilnya suhu dan tingginya kelembapan membuat hutan ini seperti “rumah ideal” bagi mereka untuk tempat mencari buah, bertengger, hingga menari saat musim kawin.

Hutan Asiki bisa dibilang rumah impian bagi Cenderawasih Kuning-Besar. Suhu udaranya stabil, hangat tetapi tidak berlebihan, rata-rata berkisar 25–26°C sepanjang tahun. Ditambah lagi, hujan di daerah ini selalu turun sepanjang tahun — curah hujan rata- rata mencapai 3.395 mm per tahun. Kelembapan yang tinggi menjadikan hutan terasa sejuk sekaligus lembap, kondisi yang ideal bagi tumbuhan untuk tumbuh subur dan menghasilkan buah—sumber makanan utama cenderawasih.

Kombinasi iklim yang stabil, curah hujan tinggi, dan kelembapan hutan Papua menciptakan ekosistem yang benar-benar mendukung. Bagi cenderawasih kuning-besar, kestabilan lingkungan seperti ini sangat penting, terutama karena perilaku berkembang biak mereka—seperti tarian lekking yang ikonik—sangat bergantung pada keseimbangan ekosistem hutan.

Tutupan Kanopi Hutan yang Rapat

Bagi cenderawasih kuning-besar, hutan adalah rumah sekaligus panggung kehidupan. Lapisan kanopi yang rapat dan menjulang tinggi menyediakan semua yang mereka butuhkan dari tempat bertengger untuk beristirahat, sudut aman untuk bersarang, hingga arena hijau untuk berlindung. Di antara dahan pohon tinggi yang menjulang, para jantan menari dengan penuh energi, memamerkan bulu kuning keemasan yang berkilau untuk menarik perhatian betina.

Dari hasil penelitian di Hutan Asiki ditemukan bahwa tempat habitat Cenderawasih Kuning-Besar memiliki kanopi dengan rata-rata 24,5 meter. Bayangkan, hutan ini seperti gedung bertingkat dengan empat lapisan utama: kanopi atas, kanopi tengah, lapisan semak, dan vegetasi penutup tanah. Selain itu, kerapatan pohon di hutan ini juga masih sangat tinggi, mencapai lebih dari 70%. Kondisi ini menciptakan suasana yang teduh dan lembap, sebuah habitat yang cocok untuk menjaga kelangsungan hidup cenderawasih kuning-besar.

Jauh dari Aktivitas Manusia

Pohon yang menjadi tempat lekking jauh dari aktivitas manusia

Burung cendrawasih sangat sensitif terhadap gangguan—bahkan suara langkah kaki atau obrolan kecil bisa membuatnya berhenti menari. Ruang tenang di hutan Papua menjadi syarat penting bagi kelangsungan hidup mereka. Analisis spasial menunjukkan rata-rata habitat cenderawasih berada cukup jauh dari aktivitas manusia, sekitar 2,2 km dari jaringan jalan, 2 km dari perkebunan kelapa sawit, dan 800 meter dari lahan terbangun. Hal ini menegaskan semakin jauh dari aktivitas manusia, semakin besar peluangnya untuk tetap bertahan.

Sebagian besar hutan Papua masih terjaga dan jauh dari pembangunan. kawasan yang dijamah oleh manusia sehingga menjadikan panggung utama bagi burung cenderawasih untuk menari, mencari makan, dan berkembang biak tanpa gangguan. Hutan yang sunyi dan rimbun memberi ruang aman bagi mereka untuk mempertahankan tarian lekking yang megah sekaligus melanjutkan siklus hidupnya. Pendekatan konservasi diperlukan dengan melibatkan pengelolaan kawasan dengan penuh kehati-hatian. Hal ini menjadi kunci penting untuk memastikan burung surga ini tetap bisa menari bebas di hutan Papua.

Cendrawasih Kuning Besar, Permata Asli Papua dengan Ciri Khas “Menari”

Hutan papua sebagai salah satu hutan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia didalamnya menjadi tempat salah satu spesies burung yang begitu memikat — Cenderawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda). Burung ini termasuk anggota keluarga besar Paradiseaeidae, yang dikenal dunia karena keindahannya.

Keindahan Bulunya Menjadi Ancaman

Cenderawasih Kuning Besar memiliki keistimewaan tersendiri, bulu kuning keemasan yang berkilau saat terkena sinar matahari terlihat seperti makhluk dari dunia lain. Tidak heran jika burung ini sering disebut sebagai “penari surga.” Burung cantik ini hanya bisa ditemukan di tanah Papua, sebuah harta karun hidup yang tidak dimiliki tempat lain di dunia.

Sejak lama, bulu cendrawasih diburu untuk hiasan dan perdagangan ilegal. Ditambah lagi, perusakan habitat akibat penebangan hutan membuat ruang hidup mereka semakin menyempit. Padahal, hilangnya burung ini bukan hanya kehilangan satu spesies, tetapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem di sekitarnya.

Pengamatan Lebih Mendalam

Sejak 2022 para peneliti dari IPB University dan TSE Group melakukan kajian terkait Cendrawasih Kuning Besar. Kami memulai dengan pencarian habitat, menghitung jumlah individu, hingga mencatat perilaku unik saat musim kawin—yang dikenal dengan istilah tarian lekking.

Hasil Penelitian

Pengamatan beberapa tahun ini ditemukan jenis yang sangat menarik, dari hutan konsesi milik PT Inocin Abadi, para peneliti menemukan 27 ekor cenderawasih kuning besar—10 jantan dengan bulu mencolok, dan 17 betina yang setia mengamati tarian mereka. Sementara, di areal PT Tunas Timber Lestari, tercatat ada 15 ekor betina yang hidup di sana.

Selain jumlah individu, peneliti juga menemukan pohon lek—tempat para cenderawasih jantan melakukan “pertunjukan tari” untuk menarik hati betina. Di areal PT Inocin Abadi, ditemukan 2 pohon lek, sementara di PT Tunas Timber Lestari ada 6 pohon lek. Pohon-pohon ini bukan sembarang pohon; umumnya berasal dari jenis jambuan, matoa, kelat, hingga medang. Meski diameternya tak terlalu besar (sekitar 33–70 cm), pohon-pohon ini menjulang lebih tinggi daripada pepohonan lain di sekitarnya.

Syzygium sp. Tree as the Lek Site of the Greater Bird-of-paradise

Menariknya, pohon lek hampir selalu berupa pohon emergent—pohon yang menjulang lebih tinggi dari kanopi sekitarnya. Dari ketinggian ini, burung jantan bisa lebih mudah memamerkan tariannya sekaligus memanggil betina dengan suara lantang. Musim lekking biasanya berlangsung antara Juli hingga September, dengan puncak pada bulan Agustus. Saat itu, hutan Papua seakan berubah menjadi panggung alami. Para jantan menari, melompat, dan mengepakkan sayap keemasan mereka, sementara para betina dengan teliti memilih pasangan terbaik. Sebuah drama alam yang hanya bisa disaksikan di hutan-hutan Papua.

 

Berfungsi sebagaiIndikator Kesehatan Hutan”.

Jika cenderawasih masih menari di suatu kawasan berarti ekosistem di sana masih terjaga: kelestariannya. Pohon-pohon besar masih berdiri, rantai makanan masih berjalan, dan iklim mikro di dalam hutan tetap stabil. Kehilangannya bukan hanya hilangnya satu spesies cantik, tetapi juga sinyal kerusakan yang lebih besar bagi seluruh ekosistem.

Melestarikan cenderawasih kuning besar berarti melestarikan kehidupan hutan Papua secara keseluruhan. Pohon-pohon tinggi tempat mereka menari, satwa lain yang hidup di sekitarnya, hingga tanah yang menopang itu semua saling terhubung. Upaya konservasi tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus melihat hutan sebagai sebuah kesatuan hidup.

Dengan pendekatan terpadu—antara ilmu pengetahuan, konservasi, dan keterlibatan masyarakat—cenderawasih kuning besar bisa terus menari di hutan Papua. Mereka akan tetap menjadi “permata hidup” yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga menjadi simbol harapan bagi kelestarian hutan dan generasi mendatang.

Meneliti Keanekaragaman Hayati dari Timur Indonesia

Perusahaan sawit nasional Tunas Sawa Erma (TSE) Group sedang membangun kapal penelitian bernama Papua Lestari. Foto: dok TSE.

Papua: Perusahaan sawit nasional Tunas Sawa Erma (TSE) Group sedang membangun kapal penelitian bernama “Papua Lestari” untuk  mencari tahu kehidupan kura-kura moncong babi dan ekosistem sungai habitatnya di Papua Selatan.

Kapal tersebut mampu menampung lima orang untuk beraktivitas di dalamnya. Selain ruangan untuk barang-barang perlengkapan penelitian, kapal ini juga dilengkapi sejumlah fasilitas untuk mempermudah pekerjaan para peneliti.

Kapal ini menjadi sebuah sarana penting dalam rangka melakukan penelitian biota air di Papua, terutama kura-kura moncong babi. Dengan adanya “Papua Lestari”, para peneliti bisa melakukan aktivitasnya dengan lebih baik sehingga diharapkan akan meningkatkan kualitas penelitian.

Kapal penelitian “Papua Lestari” sejatinya merupakan fasilitas yang disediakan oleh TSE Group, tak hanya menjadi alat transportasi bagi para peneliti, namun juga sebuah simbol untuk menyebarkan pesan pelestarian.

Pelestarian lingkungan

“Papua Lestari dibangun untuk meneliti ekosistem di sungai dan rawa di Papua, baik itu kura-kura moncong babi, ikan, ular dan lain sebagainya. Selain itu, kapal penelitian ini juga bisa menjadi simbol untuk membuka mata masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan,” ucap Direktur TSE Group, Luwy Leunufna, dalam keterangan tertulis, Selasa, 29 April 2025.

Perampungan kapal ini merupakan bagian dari komitmen program Papua Conservation yang dicanangkan TSE Group dan IPB University sejak 2022. Program ini bertujuan untuk melindungi hak kehidupan dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap hewan endemik.

Program ini tak hanya berfokus pada konservasi untuk kura-kura moncong babi saja, tapi juga hewan endemik Papua lainnya, yaitu cenderawasih kuning besar di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel, Papua Selatan.

.

Sumber: www.metrotvnews.com

TSE Group Dukung Konservasi Kura-kura Moncong Babi di Wilayah Boven Digoel

Tunas Sawa Erma (TSE) Group bersama sejumlah stakeholder berpartisipasi dalam acara pelepasliaran tukik kura-kura mocong babi di Sungai Kao, Kampung Kalikao, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel. (Istimewa)

CEPOSONLINE.COM, BOVEN DIGOEL – Tunas Sawa Erma (TSE) Group sebuah industri perkebunan dan pengelolaan kelapa sawit di wilayah Papua Selatan ikut berpasrtisipasi dalam acara pelepasliaran tukik kura-kura mocong babi di Sungai Kao, Kampung Kalikao, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel pada, Jumat (10/01).

Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya konservasi yang dilakukan oleh komunitas Kinggo Kambenap, sebuah komunitas masyarakat lokal yang dibentuk sejak tahu 2007 dan berkomitmen untuk melestarikan habitat asli di wilayah mereka.

Kegiatan saat itu, dihadiri oleh sejumlah stakeholder seperti pihak pemerintah, kepolisian, swasta hingga akademisi serta Komunitas Kinggo Kambenap yang bersama-sama melakukan pelepasliaran tukik birip dalam bahasa lokal atau bayi kura-kura moncong babi di sungai Kao. Dalam beberapa bulan terakhir komunitas Kinggo Kambenap telah melakukan pengumpulan dan pemeliharaan telur kura-kura moncong babi, dan setelah menetas akan dilepaskan ke sungai. Hal ini bertujuan untuk melindungi habitat satwa liar endemik di sekitar kali Kao terutama kura-kura moncong babi, agar generasi mendatang tetap bisa melihat satwa yang mulai langkah tersebut.

“Kami sangat mendukung upaya konservasi yang dilakukan oleh komunitas Kinggo Kambenap. Kegiatan ini sejalan dengan komitmen kami untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung masyarakat lokal dalam melestarikan habitat asli mereka,” ujar Bani Susilo Djokroadji perwakilan perusahaan

Dalam keterangannya, Bani Susilo menambahkan bahwa selama ini pihak perusahaan juga melakukan kerja sama dengan pihak Universitas IPB (Institut Pertanian Bogor) dalam upaya pelestarian Carrettochelys insculpta atau kura-kura moncong babi di kali Kao dan Kali Muyu yang berada di Kabupaten Boven Digoel.

Dalam kerja sama ini pihak perusahaan memfasilitasi segala kebutuhan yang diperlukan oleh tim peneliti dari Universitas IPB dalam melakukan penelitan terhadap fauna air tawar tersebut.

Dengan adanya kegiatan ini dan upaya yang telah dilakukan oleh pihak perusahaan dalam mendukung upaya konservasi alam disekitar area operasionalnya, diharapkan populasi kura-kura mocong babi bahkan satwa langkah lainnya dapat terus terjaga dan habitat aslinya tetap lestari.

TSE berkomitmen untuk terus mendukung upaya konservasi dan program-program lingkungan lainnya secara berkelanjutan di masa mendatang. (*)

Sumber: www.ceposonline.com

Melindungi kura-kura berhidung babi

Kura-kura berhidung babi. Foto milik Kadoorie Farm & Botanic Garden.

Kura-kura Asia dan kura-kura air tawar sangat menderita akibat perdagangan ilegal yang tidak diatur, yang dipanen untuk memenuhi permintaan daging, penggunaan dalam pengobatan tradisional, dan untuk perdagangan hewan peliharaan. Yang agak mengkhawatirkan, semakin banyak orang di seluruh dunia menjadi lebih tertarik untuk memelihara hewan peliharaan yang “eksotik”.

Permintaan hewan-hewan ini sebagai hewan peliharaan datang dari dalam negara tempat spesies ini hidup, dan luar negeri. Salah satu makhluk yang diperdagangkan secara internasional adalah kura-kura berhidung babi, Carettochelys insculpta. Dinamai berdasarkan moncong babinya, kura-kura ini lebih mirip sepupunya yang hidup di laut dengan sirip yang mirip dengan kura-kura laut.

Kucing ini hanya ditemukan di tiga negara, yaitu Indonesia, Papua Nugini, dan Australia. Dan sayangnya, semakin langka suatu makhluk, semakin tinggi premi yang diberikan padanya secara komersial, yang menarik penggemar dan pedagang reptil.

Dalam kurun waktu tujuh setengah tahun, para peneliti yang mengawasi perdagangan kura-kura hidung babi mengidentifikasi 26 penyitaan dengan total 52.374 kura-kura selundupan, yang terjadi di atau berasal dari Indonesia.

Monitor Conservation Research Society (MCRS) dan Oxford Wildlife Trade Research Group meneliti penyitaan tahun 2013-2020, mengamati jaringan dan pusat perdagangan kontemporer, memetakan rute, menilai penuntutan yang berhasil, dan dalam prosesnya, menandai kegagalan untuk memanfaatkan perangkat yang ada guna melindungi spesies tersebut dengan lebih baik dan anomali dalam cara perdagangan legal spesies tersebut diizinkan.

Indonesia muncul sebagai sumber terbesar spesies yang memasuki perdagangan ilegal; Dari 52.374 kura-kura yang disita, 10.956 disita dalam enam insiden perdagangan terpisah yang berasal dari Indonesia.

Di antara negara-negara tersebut adalah Malaysia, dengan dua pengiriman dicegat oleh pihak berwenang; satu di perairan Johor, dengan 3.300 ekor diselundupkan dengan perahu dari Pulau Bengkalis, Riau, Indonesia, sementara yang lain, yang melibatkan 4.000 ekor kura-kura terjadi di lepas pantai Sabah dekat Tawau.

Spesies ini dulunya dijual secara terbuka di toko hewan peliharaan tetapi sekarang semakin banyak dijual melalui aplikasi media sosial. Sampai undang-undang Malaysia berlaku untuk mengatasi kejahatan dunia maya terhadap satwa liar, pedagang daring akan terus mengeksploitasi celah ini. Malaysia juga merupakan titik transit untuk perdagangan kura-kura hidung babi yang berasal dari Indonesia.

Lokasi penyitaan kura-kura hidung babi yang terjadi di Indonesia, dan beberapa yang terjadi di luar negeri tetapi melaporkan Indonesia sebagai sumber dan jumlah individu yang disita. Hal ini berdasarkan 26 insiden penyitaan yang diperoleh selama periode Januari 2013 hingga Juni 2020.

Secara global, sebuah perjanjian yang disebut Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (CITES) menyediakan sarana untuk mengatur perdagangan internasional spesies yang terancam oleh perdagangan, menggunakan sistem lampiran.

Kura-kura hidung babi tercantum dalam Lampiran II, yang berarti perdagangan hanya diizinkan dengan izin yang diperlukan — tetapi individu yang disita selama periode penelitian tidak memiliki izin apa pun. Selain itu, kura-kura ini sepenuhnya dilindungi di Indonesia. Meskipun ada perlindungan hukum ini, hanya sembilan dari 26 kasus yang berhasil dituntut, dengan “keberhasilan” yang dapat diperdebatkan karena tidak ada yang sepenuhnya sesuai hukum: hukuman penjara maksimum lima tahun dan denda sebesar US$7.132.

Pelanggar jarang menerima hukuman yang mendekati hukuman maksimum — hukuman penjara tertinggi yang diberikan kira-kira setengah dari hukuman maksimum yang mungkin. Sejauh yang dapat dinilai, tidak ada seorang pun yang didakwa atas pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan (hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda US$356.583) atau Undang-Undang Perikanan 31 (hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda US$106.975).

“Indonesia memiliki berbagai perangkat dalam bentuk undang-undang dan peraturan untuk berfungsi sebagai pencegah yang kuat, dan pada akhirnya untuk melindungi spesies ini dari eksploitasi berlebihan,” kata Dr. Chris R. Shepherd, penulis utama studi tersebut, seraya menambahkan: “Namun, perangkat tersebut tidak efektif jika tidak digunakan.”

Spesies yang dilindungi dapat diperdagangkan secara komersial di Indonesia jika spesimen tersebut telah dibiakkan hingga generasi kedua di penangkaran, dan hanya oleh pedagang yang memiliki lisensi untuk mengembangbiakkan spesies tersebut. Namun, pedagang di Indonesia diketahui menyalahgunakan peraturan ini dan mencuci hewan hasil tangkapan liar ke pasar internasional dengan kedok dibiakkan di penangkaran.

Kemungkinan operasi penangkaran palsu, mengingat waktu dan sumber daya yang dibutuhkan dalam penangkaran kura-kura berhidung babi hingga generasi kedua, juga ditandai dalam studi terbaru ini.

“Kemungkinan besar, kura-kura yang dinyatakan sebagai hasil penangkaran semuanya hasil tangkapan liar atau peternakan, dan dinyatakan palsu sebagai hasil penangkaran untuk menghindari pembatasan dan memungkinkan ekspor ke negara-negara yang pemeriksaan sumber hewan impornya longgar,” kata Dr. Vincent Nijman, salah satu penulis studi tersebut.

Pemulangan dan pelepasan satwa liar. Foto milik Kadoorie Farm & Botanic Garden.

Para penulis juga mempertanyakan bagaimana lebih dari 5.000 ekor kura-kura hidung babi diekspor sebagai hasil tangkapan liar, yang secara langsung melanggar undang-undang Indonesia sendiri, termasuk 80 ekor ke Amerika Serikat, yang melanggar Undang-Undang Lacey AS.

Sebagian besar ditujukan ke daratan Tiongkok dan Hong Kong. Menaikkan spesies ini ke Lampiran I CITES akan membantu negara-negara yang memiliki habitat untuk mendapatkan kerja sama yang lebih kuat dari Pihak CITES lainnya, karena spesies yang tercantum dalam CITES I pada umumnya dilarang untuk perdagangan komersial internasional, dan di beberapa negara, hukuman untuk perdagangan spesies yang tercantum dalam Lampiran I seringkali lebih tinggi.

Jelas, Indonesia sangat membutuhkan strategi yang kuat untuk secara efektif mengatasi perdagangan ini di sepanjang rantai perdagangan. Negara ini memiliki undang-undang dan infrastruktur yang harus digunakan untuk menghukum para penjahat satwa liar, dan pada akhirnya, melindungi kura-kura hidung babi dengan lebih baik.

Warga Malaysia juga memiliki peran untuk mengakhiri perdagangan ilegal kura-kura hidung babi. Kita perlu bersatu untuk membantu meningkatkan kesadaran akan masalah ini, dan tidak menjadi bagian dari masalah dengan membeli kura-kura berhidung babi.

Jika kita melihat kura-kura berhidung babi dijual, atau mengetahui seseorang memeliharanya sebagai hewan peliharaan, kita harus melaporkannya ke Hotline Departemen Margasatwa dan Taman Nasional di 1-800-88-5151 (jam kerja Senin-Jumat) atau Hotline Kejahatan Margasatwa MYCAT 24 jam di 019-356 4194.

Saatnya kita berperan!

Perdagangan satwa liar ilegal, penyitaan, dan penuntutan: analisis perdagangan kura-kura berhidung babi Carettochelys insculpta selama 7 setengah tahun di dan dari Indonesia oleh Chris R. Shepherd, Lalita Gomez, dan Vincent Nijman diterbitkan dalam Global Ecology and Conservation.

Sumber: www.nst.com.my

Aparat Gagalkan Penyelundupan 1.220 Ekor Kura-kura Moncong Babi

TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

TEMPO Interaktif, Jakarta – Petugas keamanan Bandara Mozes Kilangin Timika, Papua, menggagalkan upaya penyelundupan ribuan ekor kura-kura moncong babi ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Sriwijaya Air, Kamis, 24 Maret 2016.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Timika Yohan Frans Mansay mengatakan bahwa jumlah kura-kura moncong babi yang hendak diselundupkan sebanyak 1.220 ekor.

Kura – Kura Moncong Babi tersebut dikemas dalam dua kardus. “Ada seseorang berinisial “S” yang membawa barang tersebut ke terminal Bandara Timika. Saat pemeriksaan di mesin x-ray, petugas mencurigai barang tersebut sebelum akhirnya disita. Petugas kemudian menghubungi pihak karantina. Setelah diperiksa, ternyata di dalam kardus tersebut terdapat ribuan kura-kura moncong babi yang dilindungi,” kata Yohan.

Ia mengatakan kura – kura moncong babi tersebut dibawa ke Polsek Bandara Timika sebelum diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Timika untuk diamankan di areal reklamasi tailing PT Freeport Indonesia di Maurupauw, MP 21.

“S” bekerja sebagai petugas ground handling maskapai Sriwijaya Air di Bandara Mozes Kilangin Timika. Yohan belum bisa memastikan siapa pemilik ratusan kura-kura moncong babi tersebut. “Kami sudah laporkan ke Kepala BKSDA Papua. Kami akan menunggu kedatangan penyidik pegawai negeri sipil untuk menyelidiki kasus ini,” katanya.

“Kami meminta dukungan dari semua pihak untuk membantu kami mencegah penyelundupan kura-kura moncong babi dari Papua karena kura-kura moncong babi termasuk satwa yang dilindungi,” kata Yohan.

Pada bulan Februari lalu, otoritas Bandara Timika juga telah menggagalkan upaya penyelundupan 3.220 ekor kura-kura moncong babi dari Timika ke Jakarta yang dikemas dalam empat koper.

Kura-kura moncong babi merupakan satwa endemik Papua yang dilindungi. Satwa langka ini hanya hidup di kabupaten-kabupaten di bagian selatan Papua, seperti Mappi, Asmat, dan Mimika.

Sumber : tempo.co

Kura-kura Moncong Babi dari Merauke Gagal Diselundupkan ke Kalimantan

15 ekor kura-kura moncong babi diamankan saat akan diselundupkan ke Kalimantan menggunakan MT, Sabtu (24/2). (ANTARA/HO/Dok Karantina Papua Barat)

JAKARTA – Karantina Papua Selatan menggagalkan penyelundupan kura-kura moncong babi yang akan dikirim melalui Pelabuhan Merauke.

“Memang benar petugas karantina telah menggagalkan penyelundupan kura-kura moncong babi yang akan diselundupkan menggunakan Kapal Motor MT dengan tujuan Kalimantan pada Sabtu (24 Februari),” kata Kepala Karantina Papua Selatan, Cahyono, saat dihubungi di Jayapura, Minggu (25/2) malam, dikutip dari Antara.

Tercatat 15 ekor kura-kura moncong babi tersebut dimasukkan ke dalam ember yang diletakkan di rak sepatu, kemudian ditutup dengan kain.

Dalam keterangan tertulisnya, Cahyono menyayangkan masih adanya oknum yang tidak bertanggung jawab yang membawa satwa endemik yang dilindungi.

“Kita harus menjaga sumber daya alam di Papua, baik flora maupun fauna agar tetap lestari, karena jika tidak, dapat mempercepat kepunahan dan mengganggu ekosistem habitat aslinya,” katanya.

“Karantina akan berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah penyelundupan hewan dan tumbuhan asli Papua,” kata Cahyono.

Kepala Tim Penegakan Hukum Karantina Papua Selatan, Suwarna Duwipa, menambahkan bahwa penyelundupan 15 ekor kura-kura moncong babi dan seekor burung dara berhasil digagalkan melalui pengawasan di pelabuhan.

Pengawasan dilakukan terhadap kapal-kapal yang akan keluar dari Pelabuhan Merauke untuk mencegah terjadinya penyelundupan, khususnya hewan dan tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.

Karantina memiliki tugas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap tumbuhan dan satwa liar, serta tumbuhan dan satwa langka.

Apalagi kura-kura moncong babi merupakan satwa endemik wilayah selatan Papua yang dilindungi karena keberadaannya di alam sudah sedikit.

“Menurut International Union Conservation Nature (IUCN), kura-kura moncong babi berstatus rentan (vulnerable), dan masuk dalam daftar merah Apendiks II Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar yang Terancam Punah (CITES),” kata Duwipa.

Kura-kura moncong babi tersebut akan diserahkan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah Merauke sebagai instansi yang berwenang untuk melakukan proses lebih lanjut.

 

Source: voi.id

Kura-kura moncong babi di Kebun Binatang S’pore yang mengikuti pengunjung berkeliling di pameran sebenarnya tidak kesepian

Seorang pengunjung Kebun Binatang Singapura baru-baru ini menemukan seekor kura-kura yang sedang menyendiri di dalam pameran.

Dalam sebuah video TikTok yang kini menjadi viral dan telah ditonton lebih dari 555.000 kali, kura-kura tersebut terlihat berenang di dalam kandangnya sambil membuntuti kamera.

Pengguna TikTok, @peters.human, mengklaim bahwa kura-kura itu “sangat kesepian”.

“Dia adalah satu-satunya penyu di kandang dan saya tahu dia menginginkan perhatian manusia karena dia terus mengikuti kami saat kami berjalan,” tulis pengguna TikTok tersebut.

Ini adalah pertunjukan pertama yang kami lihat, dan kami adalah beberapa orang pertama yang datang ke kebun binatang pada hari itu.

Ketika kami berjalan melewatinya, kura-kura itu dengan cepat berenang ke arah kami dan ketika kami berjalan turun, dia mengikuti kami di sepanjang jalan.

Kami ingin melihat apakah dia benar-benar mengikuti kami, jadi kami berjalan kembali ke awal tangki dan dia berenang kembali ke dekat kami!

Banyak orang yang hanya berjalan melewati kandang ini karena kandang ini kosong dan hanya dia yang ada di dalamnya… dia kesepian.

Suaka Margasatwa @Mandai tolong jelaskan mengapa hanya dia yang ada di dalam kandang!

#tiktoksg #singaporetiktok #singaporezoo #zoo #kura-kura #kura-kura #kura-kura  #kura-kura #kura-kura #kura-kura #hewan #kehidupan #kebun #mengunjungi #dia #sendirian #saya #tidak #menangis

(https://www.tiktok.com/@jihae.0706/video/7332923443375050002?referer_url=www.papuaconservation.com%2Fpig-nosed-turtle-at-spore-zoo-that-follows-visitors-around-in-its-exhibit-isnt-actually-lonely%2F&refer=embed&embed_source=121374463%2C121468991%2C121439635%2C121433650%2C121404359%2C121351166%2C121331973%2C120811592%2C120810756%3Bnull%3Bembed_blank&referer_video_id=7332923443375050002). 

Para pengguna TikTok dalam komentar menimpali dengan seruan betapa lucunya tingkah polah kura-kura itu.

Shiny Star: Saya selalu melihat dia!!!. Dia sangat menggemaskan dan selalu mengikuti saya juga. 

Owo: Dia sangat lucu Oh Tuhan, Bagaimana tidak orang – orang melihat dia. 

Ira.R: @Singapore Zoo dia sangat kesepian, Tolong bantu dia untuk menemui banyak pengunjung. 

 

Kura-kura moncong babi membuat penasaran

Menanggapi pertanyaan Mothership, seorang juru bicara dari Mandai Wildlife Group mengatakan bahwa kura-kura moncong babi, yang juga dikenal sebagai kura-kura sungai terbang, berjenis kelamin jantan.

Dia ditempatkan di pameran sungai di zona kuda nil kerdil di Kebun Binatang Singapura.

Kura-kura ini diperkirakan berusia 21 tahun dan saat ini berbagi habitat dengan ikan duri filamen, sejenis ikan.

Juru bicara tersebut mengatakan bahwa kura-kura jenis ini dikenal memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan “umumnya suka menyelidiki kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya”.

“Mereka sering terlihat berenang di sepanjang tangki saat para tamu lewat, karena perilaku mereka yang selalu ingin tahu.”

Perilaku ini, yang ditampilkan dalam video TikTok, bukanlah tanda kesepian atau stres, kata juru bicara tersebut.

 

Sendirian tapi tidak kesepian

Juru bicara Mandai Wildlife Group menambahkan bahwa kura-kura moncong babi adalah spesies penyendiri, dan individu-individu hanya berkumpul selama musim kawin.

“Karena mereka bersifat teritorial dan agresif, individu-individu dari spesies yang sama tidak ditempatkan bersama,” tambah mereka.

Seorang pengguna TikTok yang bekerja untuk Mandai Wildlife Group juga menyuarakan pendapatnya tentang masalah ini dalam sebuah video.

Mengklarifikasi bahwa ia membagikan pandangannya dalam kapasitas pribadinya, pengguna @p1kashiu mengatakan bahwa banyak orang cenderung melihat hewan sebagai “manusia mini”

Hal itu keliru. Banyak hewan yang “sendirian tetapi tidak kesepian”, kata @p1kashiu.

Ketika bukan musim kawin, hewan mungkin melihat individu lain sebagai ancaman bagi makanan dan sumber daya mereka.

“Jadi banyak hewan, terutama kura-kura, lebih suka menyendiri,” katanya, menggemakan apa yang dikatakan oleh juru bicara Mandai Wildlife Group tentang sifat soliter spesies ini.

Ambil contoh penyu terrapin. Individu cenderung menjadi lebih agresif seiring bertambahnya usia dan ukurannya.

Saran @p1kashiu adalah untuk tidak memelihara lebih dari satu ekor terrapin di tempat yang sama.

Anda dapat menonton video lengkapnya di sini.

(https://www.tiktok.com/@p1kashiu/video/7333434072162782472?referer_url=www.papuaconservation.com%2Fpig-nosed-turtle-at-spore-zoo-that-follows-visitors-around-in-its-exhibit-isnt-actually-lonely%2F&refer=embed&embed_source=121374463%2C121468991%2C121439635%2C121433650%2C121404359%2C121351166%2C121331973%2C120811592%2C120810756%3Bnull%3Bembed_blank&referer_video_id=7333434072162782472). 

Membalas @IlikeySegk TLDR- banyak kura-kura yang tidak bersosialisasi seperti manusia#flyriverturtle #pignosedturtle #turtle #mandaiwildlifereserve #singaporezoo #singapore

 

Lebih lanjut tentang kura-kura moncong babi

Penyu moncong babi berasal dari Australia dan Papua Nugini, dan dinamakan demikian karena moncongnya yang berbeda.

Tidak seperti penyu air tawar lainnya, penyu moncong babi memiliki sirip yang mirip dengan penyu.

Mereka diklasifikasikan sebagai “Terancam Punah”, menurut Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).

Ancaman utama spesies ini adalah perdagangan hewan peliharaan ilegal, serta permintaan untuk penyu dan telurnya sebagai makanan.

 

Sumber : mothership.sg

Penyelidikan filogeografi dan forensik kura -kura moncong babi yang terancam punah – Matthew Young

https://youtu.be/YgxAcTmV__A

Kura-kura moncong babi yang terancam punah (Carettochelys insculpta) merupakan hewan endemik Australia utara dan Papua Nugini selatan. Ancaman utama bagi spesies ini adalah eksploitasi yang tinggi untuk perdagangan satwa liar internasional. Jutaan telur C. insculpta dikumpulkan setiap tahunnya sepanjang tahun 1990-an untuk dijual sebagai tukik, dan ribuan tukik terus disita dari para penyelundup satwa liar setiap tahunnya di luar daerah sebaran aslinya. Untuk memerangi perdagangan ilegal dan menerapkan tindakan konservasi, studi forensik satwa liar membutuhkan penilaian filogeografis yang kuat dari populasi liar untuk dapat secara akurat menempatkan individu pada populasi sumber. Penelitian PhD saya bertujuan untuk menggunakan genotipe SNP kura-kura liar dan kura-kura yang diperdagangkan untuk menentukan a) sejarah filogeografi C. insculpta, dan b) asal usul C. insculpta yang diperdagangkan dari Australia, Hong Kong, Eropa, Kanada, dan Amerika Serikat. Penelitian filogeografis menunjukkan bahwa vikarius, kemungkinan besar disebabkan oleh fluktuasi permukaan laut yang terkait dengan siklus glasial Pleistosen, serta konektivitas paleodrainase di seluruh Paparan Sahul yang saat ini terendam, telah berperan besar dalam membentuk distribusi dan keragaman garis keturunan. Kemacetan yang berkepanjangan dan pergeseran genetik telah terjadi, dan penyelamatan genetik harus dipertimbangkan untuk pengelolaan konservasi spesies ini di Australia. Sumber kura – kura moncong babi yang diperdagangkan telah diidentifikasi dan implikasinya terhadap rute perdagangan akan dibahas.

Tentang Matt: Minat penelitian Matt berfokus pada ekologi dan genetika konservasi, dengan kecintaan khusus pada reptil dan amfibi. Penelitian tentang kura – kura moncong babi telah menjadi bagian besar dari pelatihan dan awal karirnya. Dimulai dengan kuliah lapangan sarjana di Jervis Bay di Taman Nasional Booderee yang mempelajari ekologi pergerakan penyu berleher panjang, dan kemudian menjadi sukarelawan di proyek yang sama setelah lulus, dia belajar betapa menyenangkannya mengejar kura – kura air tawar di bawah air. Matt dipekerjakan oleh MDBfutures CRN untuk melakukan perjalanan melintasi Australia timur untuk mengumpulkan sampel genetik dari semua spesies kura – kura yang ditemui. Salah satu penelitian yang menjadi sorotan adalah snorkeling untuk kura – kura moncong babi di Papua Nugini, yang jauh lebih cepat di bawah air daripada penyu kecil yang pertama kali ia kejar saat masih kuliah. Matt pernah bekerja sebagai Ahli Ekologi di ACT Parks and Conservation Service, dan menjadi pengajar untuk program sarjana. Di waktu luangnya, Matt sering menyelamatkan penyu yang mencoba menyeberang jalan.