Skip to main content

Kura-Kura Moncong Babi: Menjaga Keseimbangan antara Tradisi dan Konservasi di Papua

Pernahkah kamu mendengar kura-kura moncong babi (Carretochelys insclupta)? Spesies ini unik dengan moncong mirip babi dan tungkainya menyerupai sirip, salah satu ciptaan alam yang paling menarik. Ditemukan di sungai – sungai air tawar dan muara di Australia utara dan Papua Nugini Selatan, kura – kura ini tidak hanya sebagai keajaiban evolusi tetapi juga simbol keseimbangan yang rapuh antara aktivitas manusia dan konservasi satwa liar.

Moncong dan tungkai Kura-kura moncong babi

Spesies yang Terancam Punah

Kura – kura moncong babi merupakan satu-satunya anggota keluarga Carretochelyidae yang masih hidup, menjadikan keunikan evolusioner (beradaptasi) juga terdaftar sebagai spesies Terancam Punah oleh IUCN. Namun, ada pihak yang mengancam kelangsungan hidup spesies ini dengan mengumpulkan telur dari sarangnya, berasal dari masyarakat setempat.

Setiap tahun, kura- kura moncong babi betina muncul ke tepi sungai berpasir untuk bertelur. Lokasi sarang ini sering kali terletak di tanah adat di Papua Selatan, dimana masyarakat adat setempat telah memanen telur kura – kura selama beberapa generasi. Bagi masyarakat, telur kura-kura merupakan sumber daya yang berharga, menyediakan makanan dan pendapatan.

Didaerah seperti Sungai Kao, pengumpulan telur kura – kura moncong babi adalah tradisi yang sudah lama berlangsung. Masyarakat setempat , berasal dari klan yang memiliki hak adat atas tanah merupakan pengumpul utama. Mereka bukan hanya pemburu yang terampil tetapi juga ahli dalam menemukan sarang kura – kura yang tersembunyi di bawah pasir. Dengan menggunakan pengetahuan secara turun – temurun, mereka dengan hati – hati menggali telur, memastikan tidak ada yang rusak dalam prosesnya.

Sarang Telur Kura-kura moncong babi terkena dari pasir Sungai Kao

Tantangan Panen Berkelanjutan

Berdasarkan hasil survei lapangan dan wawancara tim Konservasi Papua, di wilayah seperti Sungai Kao, diperkirakan dipanen hingga 69.000 telur kura – kura moncong babi setiap musim bertelur. Para pengumpul mengumpulkan setiap telur dari sarang yang mereka temukan. Meskipun fokus utama pada telur, beberapa kura – kura dewasa juga diambil untuk dikonsumsi secara pribadi.

Tusuk batang besi untuk menentukan posisi sarang dan koleksi telur dari sarangnya

Menariknya, penjualan kura – kura moncong babi tidak dalam bentuk telur melainkan anak kura – kura yang baru menetas sehingga para pengumpul harus menginkubasi telur mereka sendiri, baik di kamp darurat atau di desa mereka. Meskipun praktik ini dapat memastikan pasokan anak kura – kura yang stabil untuk pasar, hal ini juga menyoroti perlunya praktik panen berkelanjutan yang mengutamakan konservasi.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kura – kura moncong babi sebagai spesies yang dilindungi dan merekomendasikan kuota panen nasional sebesar 10.000 dalam bentuk telur, dengan lokasi panen di Mimika dan Asmat.

Hanya satu perusahaan yang telah diberikan izin untuk mengumpulkan telur dari alam dan menginkubasinya. Terdapat ketidakseimbangan yang jelas antara kuota dan jumlah telur yang dikumpulkan oleh masyarakat setempat.

Orang masyarakat dan penetasan telur Kura-kura moncong babi

Menjaga keseimbangan: Tradisi dan Konservasi

Kura – kura moncong babi menghadapi tantangan yang unik. Di satu sisi, telurnya merupakan sumber daya penting bagi masyarakat setempat, yang erat kaitannya dengan praktik budaya dan perekonomian. Di sisi lain, panen yang tidak terkendali dapat mengancam kelangsungan hidup spesies tersebut. Lalu bagaimana kita menciptakan keseimbangan?

Diperlukan mekanisme yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam panen legal tanpa mengorbankan keuntungan ekonomi dan manfaat konservasi. Kita juga perlu meningkatkan kesadaran. Jika masyarakat dapat memahami nilai spesies dalam ekosistem dan rasa tanggung jawab ini, mungkin saja separuh dari anak kura-kura dapat dilepaskan kembali ke alam liar.

Pemikiran Akhir

Kisah kura-kura moncong babi mengingatkan akan hubungan kompleks antara manusia dan alam. Kisah ini menantang kita untuk menemukan cara hidup saling berdampingan dengan satwa liar, menghormati praktik tradisional sekaligus memastikan kelangsungan hidup spesies yang rentan.

Pionir Sejarawan Ilmu Pengetahuan dan Penjelajah Burung Cenderawasih Kuning Besar

Alfred Russel Wallace

Perintis Seleksi Alam dan Biogeografi

Alfred Russel Wallace, sering kali dibayangi oleh Charles Darwin, adalah seorang ilmuwan perintis yang karyanya membentuk pemahaman tentang evolusi dan keanekaragaman hayati. Berikut gambaran singkat kontribusi utamanya:

Ditahun 1858, saat berada di Kepulauan Melayu, Wallace mengirimkan Charles Darwin sebuah makalah teori evolusi melalui seleksi alam. Hal ini menjadi pendorong keduanya menerbitkan ‘’Surat Wallace-Darwin’’. Yang memperkenalkan ide tersebut kepada dunia. Penemuan independen Wallace menyoroti pentingnya ekologi dalam memahami evolusi.

Ditahun 1859, Wallace mengusulkan ‘’garis wallacea’’, garis imajiner memisahkan wilayah fauna yang berada di Asia Tenggara dan Australia. Garis ini melintasi Kepulauan Melayu, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Bali (di barat) dan Lombok (di timur). Garis ini mengungkapkan bagaimana geografi mempengaruhi distribusi spesies Konsep ini menjadi landasan bio-geografi, yang menunjukkan keanekaragaman hayati unik di wilayah tersebut.

Ilustrasi peta garis wallacea dari rimbakita.com

Eksplorasi Wallace selama delapan tahun di kepulauan Melayu mencapai puncak dalam bukunya yang terbit pada tahun 1869, The Malay Archipelago: The Land of the Orangutan and The Birds Paradise, Ia mendokumentasikan hubungan antara spesies dan lingkungannya, memberikan wawasan utama tentang bagaimana ekologi membentuk evolusi. Karyanya juga mengisyaratkan keberadaan daratan kuno yang tenggelam, menghubungkan distribusi spesies dengan sejarah geologi bumi.

Ilustrasi buku The Malay Archipelago the land of orang utan and the bird of paradise dari ceneo.pl

Mengungkap Rahasia Burung Cenderawasih: Warisan Wallace dalam Konservasi

Alfred Russel Wallace, naturalis perintis yang eksplorasinya di Kepulauan Melayu mengungkap keajaiban keanekaragaman hayati Asia Tenggara. Dari hutan lebat Kalimantan hingga pulau – pulau terpencil di Papua Nugini, karya Wallace tidak hanya memajukan ilmu pengetahuan alam tetapi juga menyoroti kebutuhan mendesak akan konservasi terutama untuk burung cenderawasih yang ikonik.

Mitos Burung Cenderawasih

Pada Abad ke-18 dan ke-19, burung cenderawasih memikat imajinasi orang Eropa. Bulunya yang memukau melambangkan kemewahan, kekayaan, dan status, menghiasi topi, gaun, dan pakaian formal. Namun, Wallace mengungkapkan kebenaran yang nyata: ketertarikan Eropa dibangun di atas mitos dan kesalahpahaman.

Melalui perjalanannya (Malaya, Pulau Nicobar, Filipina, Kepulauan Solomon, di luar Papua Nugini), Wallace memperkenalkan dunia pada habitat burung yang sebenarnya – hutan aslinya di Papua dan kepulauan Aru. Ia membantah kisah romantis tentang burung yang terbang abadi, menekankan peran ekologisnya dan kebutuhan untuk melindungi keberadaannya yang rapuh.

Burung Cenderawasih Kuning Besar bertengger di ranting pohon hutan Papua

Sisi Gelap Perdagangan Bulu

Pengamatan Wallace mengungkap dampak buruk dari perdagangan burung liar. Permintaan Eropa terhadap bulu mendorong eksploitasi yang tidak terkendali dengan pemburu lokal memanen burung secara berlebihan untuk memenuhi pasar luar negeri. Wallace mencatat kurangnya peraturan dan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap populasi burung.

Wallace menyoroti ironi: sementara orang Eropa mengagumi keindahan burung tersebut, mereka tidak megetahui kehidupan burung tersebut di alam liar. Burung cenderawasih menjadi simbol kemewahan, tetapi dengan mengorbankan kelangsungan hidupnya.

Seruan Wallace untuk Konservasi

Karya Wallace lebih dari sekadar penemuan – Karyanya merupakan seruan untuk bertindak. Ia mendokumentasikan pentingnya ekologis burung cenderawasih dan memperingatkan tentang bahaya eksploitasi yang tidak terkendali. Wawasannya menjadi dasar bagi upaya konservasi modern, mengingatkan kita tentang keseimbangan rumit antara keinginan manusia dan kebutuhan alam.

Saat ini, warisan Wallace ‘’cenderawasih sebagai Pemegang Dunia’’ tetap hidup sering terus berusaha melindungi burung cenderawasih dan habitatnya. Perjalanannya melalui The Malay Archipelago tidak hanya membantah mitos tetapi juga menginspirasi pemahaman lebih dalam dunia alami kita.

Faktor terjadinya Kehilangan Habitat Kura – Kura Moncong Babi di Papua Selatan

Adanya penyebab terdampak bagi kehidupan habitat kura – kura moncong babi, dengan menyesuaikan dari Peraturan Pemerintah Indonesia (P.106/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/12/2018) tertulis dihalaman 25 dalam nomor tabel 697 kelompok Carretochelydae atau Carretochelys insculpta (https://jdih.maritim.go.id/cfind/source/files/permen-lhk/permenlhk-nomor-p.106-tahun-2018.pdf). Maupun adanya status Appendix II sebagai kasus Spesies Perdagangan Internasional. Namun, di Indonesia sering dijumpai sebagai kasus perdagangan hewan eksotis, pasar makan dan dipercaya sebagai praktik pengobatan tradisional, dan bahan kosmetik kecantikan, akibatnya eksploitasi habitat terjadi secara intensif di Papua, terjadinya dua puluh kasus tepat periode 2013 sampai 2020. Dan ditemukan satu kasus di tahun 2022.

Berikut sampel pembuktian perdagangan illegal yang didapatkan oleh pihak berwenang:

No Tanggal Jenis Jumlah Pelaku Pengaman Lokasi Penemuan
1 07-Mar-22 Carretochelys Insculpta 472 ekor MIH Wildlife Rescue Unit (WRU) BKSDA Kota Payakumbuh

(sumber: https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/6513/penyerahan-tahap-2-kasus-perdagangan-kura-kura-moncong-babi-carettochelys-insculpta).

Pelaku terancam dengan peraturan pasal pasal 21 ayat 2 huruf d juncto pasal 40 ayat 2 UU nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE (Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya).

No Tanggal Jenis Jumlah Pelaku Pengaman Lokasi Penemuan
1 19- Jan-19

 

Carretochelys Insculpta 1.190 ekor Pengadilan Negeri Merauke Bandar Udara Mopah Merauke

(Sumber: https://www.wwf.id/id/blog/kura-kura-moncong-babi-go-international)

Terdakwa mendapatkan vonis penjara selama empat bulan oleh Pengadilan Negeri Merauke dengan denda Rp. 5.000.000 (apabila tidak bisa membayar, diganti dengan dua bulan vonis penjara). Lebih ringan dari vonis penjara aslinya selama delapan bulan.

Status kura – kura moncong babi tertulis oleh IUCN berdampak terancam kepunahan, dampak terbesar yaitu akibat perdagangan liar yang melebihi syarat kuota maksimal dari Peraturan Pemerintah Indonesia walaupun pernyataan dari Peraturan Pemerintah Indonesia tentang Kura – Kura Moncong Babi sudah sebagai ’Satwa Buru’’, namun wajib mengikuti kuota panenan yang dipergunakan maksimal 10.000 telur.

Nyatanya eksploitasi dilapangan, di Papua Selatan (berdasarkan hasil penelitian tim konservasi Papua di tahun 2022) adanya masyarakat (pemanen/pemburu) 69.000 telur dari (23 marga x 3000 telur) yang dijadikan peluang penghasilan dengan diperjualkan keluar Papua secara liar. Ada juga perwakilan masyarakat menyimpan hasil panen berjumlah 4.000 telur, satu bulan (Agustus) panen mendapat 2.000 telur. Disimpan dalam wadah khusus.

Dampak terbesar terjadinya terancam kepunahan, antara lain:

  • Gangguan Manusia (terbesar) yang diakibatkan perdagangan liar (pasar hewan eksotis, pasar makan, bahan obat kuat, bahan kosmetik kecantikan) tidak menggunakan Peraturan Pemerintah Indonesia. Di Indonesia, perdagangan liar ditemukan dan ditangkap setiap tahun, seringkali pada bulan Agustus, September, Oktober, selama musim panen.
  • Adanya perubahan iklim yang mengakibatkan kegagalan penetasan telur dipasir, terjadinya air sungai banjir mengakibatkan telur disarang pecah dan tenggelam.
  • Gangguan alami yang diakibatkan oleh satwa penyerang di alam (biawak), dan sebagainya.

Keperluan konservasi yang diselenggarakan oleh Konservasi Papua

Dari hasil pengadaan kolaborasi bersama IPB dan TSE Group terhadap konservasi ekosistem Papua, keadaan populasi kura – kura moncong babi saling bersinergi terhadap budaya rakyat Papua yang telah diabadikan oleh ‘’Nenek Moyang Rakyat Papua’’. Supaya Masyarakat memahami kaitan populasi satwa liar dan budaya mereka, perlu melakukan penelitian lebih dalam dan kampanye yang mengarahkan masyarakat mengikuti peraturan pemerintah tentang edukasi pembatasan Memanen, Menjual, Memanfaatkan telur dan kura – kura moncong babi.

Serta, adanya program Ranching yang memanfaatkan telur kura – kura moncong babi secara legal. (Separuh dari pemanfaatan penggunaan telur kura – kura moncong babi, adanya pembatasan 50% di alam dan 50% dipergunakan pemanfaatan rakyat Papua untuk dijual) Disampaikan oleh Peraturan Pemerintah Indonesia (SK. Menteri LHK No. 65/MENLHK/KSDAE/KSA.2/3/2021 tanggal 3 Maret 2021). (https://balaikliringkehati.menlhk.go.id/v2/wp-content/uploads/2024/07/Kuota-penangkapan-pengambilan-TSL-2024.pdf).