Skip to main content

TSE Group Shows Support for Pig-Nosed Turtle Conservation in Boven Digoel

Tunas Sawa Erma (TSE) Group and its stakeholders take part in the release of pig-nosed turtle hatchlings at Kao River, Kalikao Subvillage in Jair District, Boven Digoel Regency.

CEPOSONLINE.COM, BOVEN DIGOEL- Tunas Sawa Erma (TSE) Group, a South Papua-based oil palm plantation and management company, took part in the release of pig-nosed turtle hatchlings at Kao River, Kalikao Subvillage in Jair District, Boven Digoel Regency Friday (01/10).

This event is part of conservation efforts run by Kinggo Kambenap, a local community dedicated to preserving nearby habitats since 2007.

Attending stakeholders included government representatives, local police leaders, private sector officials, academicians, and Kinggo Kambenap members themselves. Together, they allowed the “tukik birip” — the hatchlings’ local name — to crawl into Kao River. In the past months, Kinggo Kambenap had been busy collecting and looking after pig-nosed turtle eggs until they’re ready to hatch and roam into the wild. The goal? Protecting the habitat of Kao River’s endemic populations — where these turtles are a part of — for future generations.

“We strongly support Kinggo Kambenap’s preservation efforts, which [we think] are consistent with our promise to safeguard natural environments and champion habitat conservation programs organized by local communities,” said TSE Group representative Bani Susilo Djokroadji.

The firm itself has been involved in the care of Carrettochelys insculpta (the Latin name for pig-nosed turtles) in Boven Digoel’s Kao and Muyu Rivers in partnership with IPB University.

Its role is to provide all the researchers’ needs to properly study the freshwater species.

This project and Kinggo Kambenap’s work are hoped to stabilize population numbers and maintain the living environment for the turtles and, in turn, other rare species.

Onwards, TSE Group will continue supporting the initiative and environmental programs in general. (*)

 

Source: www.ceposonline.com

An Indigenous community in Papua New Guinea protects rare turtles

Yolarnie Amepou is the Director of the Piku Biodiversity Network. When she started teaching children in Kikori, located in the Gulf Province of Papua New Guinea, to stop hunting for highly threatened pig-nosed turtles, some parents were not too happy.

“One child told her mother, ‘Let me take the turtle to Larnie to measure it.’ And somewhere between her home and Larnie’s house, their dinner went missing,” Amepou chuckled.

Thanks to Amepou’s efforts with the Piku Biodiversity Network, the survival rate of baby turtles in Papua New Guinea has increased. Since 2012, the organization has been teaching the local Kikori Indigenous group, especially school children, to protect this important species while conducting conservation research with them.

Yolarnie Amepou demonstrates how to prepare a safety tub to incubate pig-nosed eggs as Obiri, a Turtle Ranger, observes so he can assist the Turtle Rangers replicate 19 more tubs. The eggs are moved from natural sandbanks and kept safely in these tubs awaiting hatching. Image credit: Courtesy of Piku Biodiversity Network

Pig-nosed turtles, Carettochelys insculpta, are endemic to northern Australia and Papua New Guinea. Also known as the Piku turtle, it plays a significant role in Papua New Guinean culture, even represented on the country’s 5t coin. But even this didn’t stop the Piku’s population decline. Due to human activity, they are now endangered. In Australia, destruction is their main threat, while in Papua New Guinea, it’s poaching.

The female Piku turtle is targeted the most. Not only do female turtles nest in groups, but when one starts to lay eggs, she goes into a trance and becomes oblivious to her surroundings. That is when she is most vulnerable to human predators. In 2011, scientists from the University of Canberra, Australia, identified that the Piku population had fallen by 57% in the last 30 years.

Kikori Turtle Rangers locating nests and relocating them to safety tubs. Image credit: Courtesy of Joyce Mavere, Kikori Turtle Rangers

There is also illegal trade. More than 80,000 pig-nosed turtles were confiscated by authorities between 2003 and 2013 in Papua New Guinea and Indonesia. Because of this, Amepou started an educational campaign in the Kikori Delta, one of the main nesting sites for these turtles. Her approach consists of giving knowledge to the local community about the importance of pig-nosed turtles and providing them with an alternative source of livelihood.

Kikori Turtle Rangers

The organization and community established a project called “We Are the Kikori Turtle Rangers.” The rangers participate in turtle monitoring, incubation, and hatching, as well as education programs. Some of the rangers have been a part of this journey since they were children

Yolarnie Amepou with elementary students at Kikori for hatching activities. Image credit: Courtesy of Piku Biodiversity Network

“[Out of] all these rangers, ten of them have been part of the Piku activities in the past when they were in school. One of them was in Grade 4 when I first started coming here. Now, he is a grown man, with a family of his own. After all these years, you start to realize it’s not necessarily about the turtles, but about community empowerment, building a community to manage and take ownership of their resources. It then benefits the turtles,” Amepou says.

Amepou hopes to expand, working with more and more Kikori individuals promoting what a ranger does and can do in their community. However, one of the biggest challenges she faces is difficulty in coordinating the initiative. Seven different tribes live in the project area, each with their own distinct language. There is also a lack of funding which prevents many rangers from earning an income.

Optimistic, Amepou hopes one day she will be able to pay all the rangers and give the local community an opportunity for more jobs, while also participating in conservation. She wants to inspire the youth to lead. “The young people are already showing leadership and are having great influence within their communities,” said Amepou.

Source: www.oneearth.org

Kura – Kura Moncong Babi di Selatan Papua

Petugas Unit Pelaksanaan Teknis Balai Besar Karantina Ikan memperlihatkan barang bukti penyelundupan kura-kura Moncong Babi asal Papua saat menggelar barang bukti dan konfrensi pers Penggalan Pengeluaran Ekspor Komoditi Kura-Kura Moncong Babi, Lobster dan Kepiting Bertelur di Kementerian Kelautan Dan Perikanan, Gambir, Jakarta,Senin (19/1/2015). (ANTARA FOTO/Teresia May)

Jayapura (ANTARA News) – Dinas Kehutanan Provinsi Papua menyatakan populasi terbesar habitat asli kura-kura moncong babi tersebar di bagian selatan “Bumi Cenderawasih” itu, yaitu Kabupaten Asmat, Mappi, dan Merauke.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Jan Jap Ormuseray di Jayapura, Jumat, mengatakan satwa langka yang dilindungi tersebut belakangan sering diselundupkan, mengingat tingginya permintaan pasar luar negeri.

“Untuk itu, kami terus mendorong kura-kura moncong babi ini agar menjadi satwa buru dalam peraturan menteri yang kini tengah dibahas regulasinya,” katanya.

Jan menjelaskan dengan diterbitkannya peraturan menteri mengenai satwa buru di mana kura-kura moncong babi masuk di dalamnya, maka hewan ini dapat diternakan dan dikembangbiakan untuk kemudian dikomersialkan.

“Dengan ditetapkan sebagai satwa buru, maka kami dapat mempelopori dibentuknya kelompok atau koperasi masyarakat adat untuk memanfaatkan kura-kura moncong baik agar memberikan pendapatan secara legal,” ujarnya.

Dia menuturkan selain dapat memberikan pemasukan dan menyejahterakan masyarakat, bisa juga meningkatkan pendapatan asli daerah di tempat habitat aslinya.

“Hal ini juga dapat mengurangi kasus-kasus penyelundupan kura-kura moncong babi ke luar dari Papua seperti yang terjadi di awal 2016, di mana pihak Bandara Moses Kilangin Timika bersama instansi terkait berhasil menggagalkan upaya pengirimannya secara ilegal,” katanya.

Meskipun upaya penyelundupan 6.967 ekor kura-kura moncong babi berhasil digagalkan dan akhirnya dikembalikan lagi ke habitat aslinya di Kabupaten Asmat, katanya, hal itu harus menjadi perhatian khusus agar tidak terulang lagi pada masa mendatang.

Sumber: www.antaranews.com

Kura-Kura Moncong Babi, Hewan Endemik Papua yang Banyak Diburu untuk Dijual ke Luar Negeri

Kura-kura moncong babi, hewan endemik Papua yang terancam punah karena banyak diselundupkan ke luar negeri. (Foto : Reptil Indonesia)

JAKARTA, iNews.id – Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan ikan dengan jenis kura-kura berpunggung (cangkang) lunak, anggota suku Trionychidae. Hewan reptil ini sering juga disebut dengan nama kura-kura.

Kura-kura moncong babi merupakan hewan endemik Papua yang populasinya di alam bebas sangat terancam. Selain diburu untuk dikonsumsi, hewan peliharaan populer ini sering diselundupkan ke luar negeri (Cina dan Taiwan) untuk dikonsumsi sebagai obat.

Secara umum kura-kura moncong babi hidup di sejumlah sungai di daerah bagian selatan Papua. Populasi terbesarnya di Kabupaten Asmat, Mappi dan Merauke.

Kura-kura moncong babi merupakan satwa liar endemik Papua yang dilindungi Undang-Undang berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Sebagai satwa dilindung, maka penyelundup reptil ini terancam penjara.

Saat ini, Taman Nasional Gunung Lorentz menjadi tempat perlindungan terakhirnya. Sebab satwa langka tersebut belakangan sering diselundupkan, mengingat tingginya permintaan pasar luar negeri.

Karakteristik kura-kura moncong babi

Kura-kura moncong babi tidak seperti spesies kura-kura air tawar lainnya yang memiliki kaki sebagai alat gerak. Pada reptil ini, kaki labi-labi berfungsi sebagai sirip, menyerupai penyu.

Hidungnya terlihat seperti babi yang memiliki lubang hidung di ujung moncong berdaging. Inilah mengapa namanya disebut kura kura hidung babi (pig-nosed turtle).

Tempurungnya biasanya berwarna abu-abu dengan tekstur kasar. Sementara plastron berwarna krem. Untuk membedakan jantan dan betina dapat dilihat dari bentuk ekornya yang lebih panjang dan lebih sempit. Kura-kura moncong babi bisa tumbuh hingga sekitar 70 cm dengan berat lebih dari 20 kg.

Satwa ini merupakan jenis omnivora yang berarti memakan tumbuhan dan hewan. Namun kura-kura ini lebih menyukai tanaman dan buah daripada binatang di alam liar.

 

Sumber: papua.inews.id

Kura-Kura Moncong Babi yang Diamankan BKSDA Sumbar akan dikirim ke Timika Papua

Kura-Kura Moncong Babi Diamankan BKSDA Sumbar akan dikirim ke Timika Papua

Infosumbar.net – Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera Barat telah mengamankan Kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) dan Kura-kura baning coklat (Manouria emys), satwa tersebut akan dikembalikan ke Timika, Kecamatan Mimika Baru, Kabupaten Mimika. Provinsi Papua, pada Jumat (27/5/2022).

Sebelumnya satwa tersebut sudah diamankan dari seorang terdakwa dengan inisial MIH yang merupakan warga kota Payakumbuh yang diamankan langsung oleh tim Wildlife Rescue unit (WRU) BKSDA Sumbar bekerjasama dengan Ditreskrimsus Polda Sumbar pada tanggal 7 Maret 2022.

Adapun barang bukti yang sudah diamankan diantaranya 472 ekor Kura-kura moncong babi dari Papua serta 6 ekor Kura-kura baning coklat. Kemudian untuk barang bukti 6 ekor baning coklat telah di lepasliarkan di Taman Hutan Raya (Tahura) Bung Hatta yang mana lokasi tersebut berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa Bukit Barisan

Kepala BKSDA Sumbar Ardi Andono mengatakan kasus perdagangan ilegal Kura-kura moncong babi dan Kura-kura baning coklat sudah masuk dalam proses persidangan di Pengadilan Tinggi Negeri Payakumbuh.

Dalam sidang itu para saksi juga meminta kepada hakim untuk memberikan izin agar kura-kura moncong babi yang masih hidup bisa dilepasliarkan untuk kembali ke habitatnya.

“Kita berharap agar dapat dikembalikan ke Papua tepatnya di Timika melalui BKSDA Papua,” kata Ardi Andono.

Ardi Andono juga menjelaskan bahwa pihaknya juga telah melakukan kerjasama Balai Karantina Ikan dan BKSDA Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk proses pengurusan transit nantinya di Jakarta.

Ia juga berharap agar penyelesaian kasus tersebut berjalan dengan lancar, dan pelaku mendapatkan vonis maksimal dengan tujuan agar menimbulkan efek jera terhadap penjual dan seluruh jaringannya.

Diketahui sebelumnya pelaku dan satwa yang dilindungi itu sudah diamankan oleh BKSDA Sumatera Barat dengan Ditreskrimsus Polda Sumbar, pelaku dan barang bukti yang didapatkan sudah diamankan pada Senin (7/3/2022) sekitar pukul 22:00 WIB di Kota Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat. (Ism02)

Sumber: www.infosumbar.net

Labi-Labi Moncong Babi, Hewan Endemik Papua yang Semakin Langka

Labi-labi moncong babi © Daniilphotos Shutterstock

Familier dengan nama labi-labi? Hewan yang juga sering disebut bulus ini adalah jenis kura-kura bercangkang lunak atau penyu air tawar cangkang lunak. Ciri khasnya adalah bentuk tubuh oval atau agak bulat, tapi lebih pipih dan tanpa sisik. Warna labi-labi biasanya abu-abu sampai hitam, tergantung spesies.

Salah satu spesies labi-labi yang unik adalah jenis labi-labi moncong babi. Hewan dengan nama ilmiah Carettochelys insculpta ini dalam bahasa Inggris disebut sebagai pig-nosed turtle, plateless turtle, atau pitted-shell turtle.

Labi-labi moncong babi merupakan hewan endemik Papua dan tempat perlindungan terakhirnya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Lorentz. Sayangnya, hewan unik ini juga tak lepas dari ancaman perburuan, perdagangan ilegal, hingga yang paling parah kepunahan.

Karakter labi-labi moncong babi

Tak serupa kura-kura air tawar lain, labi-labi moncong babi tidak memiliki kaki untuk bergerak. Sebagai gantinya, ia bergerak menggunakan sirip seperti penyu dan bisa berenang bebas. Ciri khas hewan ini, sesuai namanya, terletak pada hidung yang seperti babi. Bagian karapas atau cangkang bagian atas berwarna abu-abu dengan tekstur kasar, sedangkan plastron atau kulit keras yang melindungi bagian dadanya berwarna krem.

Labi-labi moncong babi jantan dan betina biasanya dibedakan dari panjang ekor dan ukuran tubuh. Jenis yang satu ini bisa tumbuh sampai sekitar 70 cm panjang karapas dengan berat lebih dari 20 kilogram. Ia dapat hidup di air tawar dan payau, kemudian mencari makan di pinggiran sungai, danau, dan muara.

Untuk makananya sendiri biasanya tanaman, buah-buahan, ikan, dan invertebrata karena termasuk hewan omnivora. Kebanyakan mereka mengonsumsi buah ara, kiwi, apel, pisang, udang, cacing, hingga anak tikus.

Jenis kura-kura ini berkembang biak selama musim kemarau antara bulan Agustus hingga Oktober setiap tahunnya menjadi musim bertelur. Usai melewati masa musim kawin dan memasuki masa bertelur, labi-labi betina akan keluar dari air untuk menyimpan telur di pangkal air.

Jenis kelamin labi-labi ini pun sangat dipengaruhi suhu di sekitarnya. Jika suhu menurun setengah derajat, biasanya akan lahir labi-labi jantan. Sebaliknya, labi-labi betina biasanya lahir saat suhu meningkat setengah derajat.

Penyebaran labi-labi moncong babi

Habitat yang disukai labi-labi moncong babi ialah daerah sungai, muara, laguna, danau, kolam, hingga rawa yang dikeliling hutan lebat. Selain di Papua, penyebaran satwa ini juga pernah ditemukan di Papua Nugini hingga Australia.

Seperti kura-kura lain di lokasi terpencil, labi-labi moncong babi juga dipercaya telah langka. Meski demikian, belum ada data jumlah populasi yang tepat saat ini. Diketahui Australia telah melindungi hewan ini dari eksploitasi, tetapi dari Papua Nugini nampaknya belum ada tindakan konservasi. Labi-labi ini pernah ditemukan di Jepang untuk dijual.

Kehidupan labi-labi moncong babi dewasa membutuhkan kolam atau aliran sungai yang besar. Sedangkan, individu yang lebih kecil bisa hidup di kolam-kolam kecil yang memiliki tanaman dan dan tempat persembunyian untuk tempat berlindung. Suhu air pun harus dijaga antara 26,1-30 derajat Celsius.

Tak hanya suhu, kualitas air pun penting dijaga dengan adanya sistem penyaring biologi. Ketika kualitas air buruk, labi-labi akan berisiko mengalami gangguan kulit dari jamur atau bakteri pada bagian karapasnya. Ia tidak butuh tempat berjemur khusus, tapi harus ada akses ke tanah untuk betina dewasa agar bisa bersarang dan bertelur. Dalam sekali bertelur, betina dewasa biasanya butuh masa inkubasi 60-70 hari dan bisa bertelur dari tujuh sampai 39 telur.

Berada di bawah ancaman punah

Labi-labi moncong babi dengan segala keunikannya rupanya berada di bawah ancaman, bahkan di habitat asalnya. Keberadaan hewan ini terancam oleh perdagangan satwa ilegal. Bahkan, telah mencapai ribuan labi-labi diselundupkan dari Papua hingga ke pasar internasional. Ia diperdagangkan untuk menjadi makanan eksotis hingga pengobatan tradisional di China.

Bahkan, ribuan telur pun telah diambil langsung dari alam secara ilegal untuk ditetaskan karena memang belum ada penangkaran khusus.

Padahal, status labi-labi moncong babi ini secara internasional sudah ada di daftar endangered atau terancam, dan tercatat dalam International Union Conservation Nature (IUCN). Status ini agaknya jadi pengingat kita bahwa dua tingkat lagi akan menuju kepunahan.

Bahkan, labi-labi ini juga sudah masuk kategori Appendix II oleh Convention International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES). Artinya, spesies ini ada di daftar terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan yang jelas.

Di Indonesia sendiri, hewan tersebut masuk dalam daftar satwa dilindungi menurut Peraturan Menteri LHK No. 106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

 

Sumber: www.goodnewsfromindonesia.id

Protecting the pig-nosed turtle

Pig-nosed turtle. Pix courtesy of Kadoorie Farm & Botanic Garden.

ASIAN tortoises and freshwater turtles suffer greatly from illegal, unregulated trade, harvested to meet the demand for meat, use in traditional medicines, and for the pet trade. Somewhat worryingly, an increasing number of people worldwide are becoming more fascinated with keeping “exotic” pets.

Demand for these animals as pets comes from within a country where these species live, and abroad. One creature in trade internationally is the pig-nosed turtle, Carettochelys insculpta. Named for its its porcine snout, this turtle looks more like its sea-faring cousins with flippers similar to those of marine turtles.

It is found in only three countries, namely Indonesia, Papua New Guinea and Australia. And unfortunately, the rarer a creature is, the higher the premium attached to it commercially, attracting reptile enthusiasts and traffickers.

In a period of seven and a half years, researchers training their eyes on the trade in pig-nosed turtles identified 26 seizures totalling 52,374 smuggled turtles, occurring in or originating from Indonesia.

Monitor Conservation Research Society (MCRS) and the Oxford Wildlife Trade Research Group examined 2013-2020 seizures, looking at contemporary trade networks and hubs, mapped routes, assessed successful prosecutions, and in the process, flagged failures to utilise existing tools to better protect the species and anomalies in how legal trade in the species is permitted.

Indonesia emerged as the greatest source of the species entering illegal trade; Of the 52,374 turtles confiscated, 10,956 were seized in six separate trafficking incidents originating from Indonesia.

Amongst those countries was Malaysia, with two shipments intercepted by the authorities; one off Johor waters, with 3,300 individuals being smuggled by boat from Riau’s Bengkalis Island, Indonesia, while another, involving 4,000 turtles occurred off Sabah’s coast near Tawau.

This species used to be sold openly in pet stores but are now increasingly sold through social media apps. Until Malaysian laws catch up to include wildlife cybercrime, online traders will continue to exploit this loophole. Malaysia is also a transit point for the trade of pig-nosed turtles coming from Indonesia.

PUTTING TOOLS TO USE

The locations of pig-nosed turtle seizures that occurred in Indonesia, and several that occurred outside the country but reported Indonesia as the source and quantities of individuals seized. This is based on 26 seizure incidents obtained for the period January 2013 to June 2020.

Globally, a treaty called the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (Cites) provides a means of regulating international trade in species threatened by trade, using a system of appendices.

The pig-nosed turtle is listed in Appendix II, which means trade is permitted only with required permits — but the individuals that were confiscated during the study period didn’t have any. Furthermore, it’s totally protected in Indonesia. Despite these legal protections, only nine of the 26 cases were successfully prosecuted, with the “success” arguable as none were to the full extent of the law: a maximum five-year prison sentence and a fine of US$7,132.

Offenders rarely received penalties close to the maximum — the highest prison sentence given was approximately half the potential maximum. As far as can be assessed, no one was charged for violations under the Customs Law (maximum penalty 10 years imprisonment and US$356,583 fine) or the Fisheries Act 31 (maximum penalty five years imprisonment and an US$106,975 fine).

“Indonesia has multiple tools in the form of legislation and regulations to serve as a strong deterrent, and ultimately to protect this species from over-exploitation,” says Dr Chris R. Shepherd, the study’s lead author, adding: “But tools are ineffectual if they’re not put to use.”

Protected species may be commercially traded in Indonesia if the specimens have been bred to a second generation in captivity, and only by traders with a license to breed these species. However, traders in Indonesia are known to abuse these regulations and launder wild-caught animals into the international market under the guise of being bred in captivity.

The possibility of bogus captive breeding operations, given the time and resources required in breeding pig-nosed turtles in captivity to the second generation, was also flagged in this recent study.

“In all likelihood, the turtles declared as captive-bred are all wild-caught or ranched, and falsely declared as being captive-bred to circumvent restrictions and enable export to countries where the checking of the source of the imported animals is lax,” points outsays Dr Vincent Nijman, the co-author of the study.

NEED FOR ROBUST STRATEGY

Repatriation and wild release. Pix courtesy of Kadoorie Farm & Botanic Garden.

The authors also question how more than 5,000 pig-nosed turtles were exported as wild-caught, in direct violation of Indonesia’s own legislation, including 80 into the United States of America, in violation of the US Lacey Act.

The vast majority were destined for mainland China and Hong Kong. Elevating this species to Appendix I of Cites would assist the range states in obtaining stronger cooperation from other Cites Parties, as species listed in Cites I are generally prohibited from international commercial trade, and in some countries, penalties for trading in Appendix I listed species are often higher.

Clearly, Indonesia is in urgent need of a robust strategy to effectively tackle this trade along the trafficking chain. The country has legislation and infrastructure that should be utilised to punish the wildlife criminals, and ultimately, better protect the pig-nosed turtle.

Malaysians too have a role to play in ending the illegal trade in pig-nosed turtles. We need to come together to help raise awareness of this issue, and not be a part of the problem by buying pig-nosed turtles.

If we see pig-nosed turtles for sale, or know of someone keeping one as a pet, we have to report it to the Department of Wildlife and National Parks Hotline at 1-800-88-5151 (Mon-Fri office hours) or the 24-hour MYCAT Wildlife Crime Hotline at 019-356 4194.

It’s time to play our part!

Illegal wildlife trade, seizures and prosecutions: a 7-and-a-half-year analysis of trade in Pig-nosed Turtles Carettochelys insculpta in and from Indonesia by Chris R. Shepherd, Lalita Gomez and Vincent Nijman was published in Global Ecology and Conservation.

 

Source: www.nst.com.my

Kura-kura Moncong Babi dan Habitatnya yang Terancam Punah

Kura-kura moncong babi – Foto/Brilio

Klikhijau.com – Kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) adalah jenis satwa dilindungi yang keberadaannya semakin terancam akibat perdagangan illegal.

Pekan ini, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta melakukan evakuasi tiga satwa dilindungi korban banjir besar yang terjadi 2 (dua) tahun lalu. Diantaranya 1 ekor Kura-kura Kaki Gajah (Monouria emys), 1 ekor Kura-kura Moncong Babi (Carettochelys insculpta) dan 1 Ekor dan Kura-kura Gading (Orlitia borneensis).

Serah terima satwa-satwa tersebut dilakukan oleh petugas BKSDA Jakarta pada hari Senin, 4 Mei 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan Pandemi COVID-19. Ketiganya merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.

Kura-kura jenis ini juga masuk daftar Merah IUCN sebagai spesies Vulnerable (Rentan). CITES pun mendaftarnya dalam daftar Appendix II yang artinya hanya boleh diperdagangkan secara internasional dengan pengawasan khusus dan ketat.

Kura-kura moncong babi termasuk yang paling otentik dan menarik dibahas karena kekhasan pada moncongnya yang menyerupai babi.

Mengenal Kura-kura moncong babi

Sahabat Hijau, kali ini kita akan membahas tentang kura-kura moncong babi atau biasa dinamai “labi-labi moncong babi”. Oya, jenis satu ini merupakan salah satu reptil asli Indonesia.

Nama latin reptil ini adalah Carettochelys insculpta Ramsay, 1886 dan mempunyai nama sinonim, yaitu Carettochelys canni Artner (2003) dan Carettochelys insculpta Wells (2002). Dalam bahasa Inggris, disebut sebagai Pig-nosed Turtle, Fly River Turtle, New Guinea Plateless Turtle, Pig-nose Turtle, atau Pitted-shell Turtle.

Carettochelys insculpta dapat ditemukan di perairan Papua Indonesia, Papua Nugini dan Australia.

Satwa akuatik ini dapat hidup di air tawar dan payau. Biasa mencari makan makan di dasar kolam, pinggiran sungai, danau, dan muara. Kura-kura ini omnivora alias memakan tanaman, buah, invertebrata dan ikan.

Ciri khas satwa ini adalah bagian moncong yang lebih panjang serta hidung yang menyerupai hidung babi, dari morfologi inilah asal mula ia dinamai si mocong babi.

Tidak seperti kura-kura air tawar lainnya, kura-kura ini memiliki sirip pada bagian kaki, lebih menyerupai kura-kura laut daripada spesies air tawar. Dengan kakinya itulah, ia memiliki daya jelajah yang luas di darat. Sedangkan, siripnya membuatnya lincahh berenang seperti dayung.

Kura-kura ini memiliki permukaan cangkang yang kasar dan tidak memiliki sisik bertulang seperti jenis kura-kura lain, Plastron berwarna krem, sedangkan karapas dapat bervariasi antara berbagai warna coklat hingga abu-abu gelap.

Ukuran kura-kura dewasa tergantung pada habitatnya, dengan individu di dekat pantai jauh lebih besar daripada kura-kura di dekat sungai.

Uniknya, Kura-kura moncong babi betina memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan kura-kura jantan. Ekor lebih panjang dan lebih tebal dijumpai pada Kura-kura jantan. Bila sudah dewasa, jenis ini dapat berkembang hingga setengah meter, dengan berat rata-rata 22,5 kg dan panjang cangkang rata-rata 46 cm.

Daerah Sebaran

Sebagai satwa asli Indonesia, persebaran Carettochelys insculpta ini hanya di Papua bagian selatan mulai dari Timika, Asmat, Mappi, Boven Digul, Yahukimo, hingga sebagian kecil wilayah Merauke. Selain itu dijumpai juga di sebagian Papua Nugini bagian selatan dan Australia bagian utara.

Satwa ini dianggap langka meskipun jumlah populasi pastinya tidak diketahui, diperkirakan mengalami penurunan yang drastis. Ancaman terhadap utama terhadap kelestarian reptil ini adalah perburuan liar untuk diperdagangkan baik sebagai hewan peliharaan ataupun dikonsumsi daging dan telurnya.

Jenis bulus ini merupakan salah satu kura-kura yang paling banyak dieksploitasi dan diselundupkan ke luar negeri. Selain itu juga terancaman akibat dari kerusakan habitat.

Kura-kura ini berkembang biak selama musim kemarau pada saat musim bertelur antara bulan Agustus-Oktober setiap tahunnya.

Saat selesai melewati masa kawin dan memasuki masa bertelur, umumnya kura-kura betina akan keluar dari air untuk menyimpan telurnya di pangkal air.

Jenis kelamin kura-kura moncong babi sangat dipengaruhi suhu sekitarnya, tukik jantan diproduksi ketika suhu menurun setengah derajat dan tukik betina diproduksi ketika suhu meningkat setengah derajat.

.

Sumber: www.klikhijau.com

Kura-Kura Moncong Babi, terancam punah karena Perdagangan Illegal

Kura-kura moncong babi. Foto : IUCNredlist/John Cann

Gardaanimalia.com – Kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan jenis labi-labi sungai yang dapat ditemukan di perairan Papua Indonesia, Papua Nugini dan Australia.

Satwa akuatik ini dapat hidup di air tawar dan payau, biasa mencari makan di dasar kolam, pinggiran sungai, danau, dan muara. Kura-kura ini omnivora, memakan tanaman, buah, invertebrata dan ikan.

Satwa dilindungi ini juga memiliki bagian moncong yang lebih panjang serta hidung yang menyerupai hidung babi, dari morfologi inilah asal mula nama jenis satwa ini.

Tidak seperti kura-kura air tawar lainnya, kura-kura berhidung babi memiliki sirip pada bagian kaki, lebih menyerupai kura-kura laut daripada spesies air tawar. Mereka memiliki daya jelajah yang luas dan menggunakan siripnya untuk berenang seperti dayung.

Kura-kura ini memiliki permukaan cangkang yang kasar dan tidak memiliki sisik bertulang seperti jenis kura-kura lain, Plastron berwarna krem, sedangkan karapas dapat bervariasi antara berbagai warna coklat hingga abu-abu gelap.

Ukuran kura-kura dewasa tergantung pada habitatnya, dengan individu di dekat pantai jauh lebih besar daripada kura-kura di dekat sungai.

Kura-kura moncong babi betina cenderung memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan kura-kura jantan, perbedaannya jantan cenderung memiliki ekor yang lebih panjang dan lebih tebal. Kura-kura dewasa bisa mencapai panjang hingga setengah meter, dengan berat rata-rata 22,5 kg dan panjang cangkang rata-rata 46 cm.

Kura-kura ini berkembang biak selama musim kemarau pada saat musim bertelur antara bulan Agustus-Oktober setiap tahunnya.

Saat selesai melewati masa kawin dan memasuki masa bertelur, umumnya kura-kura betina akan keluar dari air untuk menyimpan telurnya di pangkal air. Jenis kelamin kura-kura moncong babi sangat dipengaruhi suhu sekitarnya, tukik jantan diproduksi ketika suhu menurun setengah derajat dan tukik betina diproduksi ketika suhu meningkat setengah derajat.

Terancam kepunahan

Kura-kura moncong babi terus terancam keberadaannya di habitat asalnya, salah satu ancaman terbesarnya adalah perdagangan satwa ilegal. Ribuan tukik diselundupkan dari Papua keluar wilayah hingga mencapai pasar satwa internasional.

Sebuah laporan dari Traffic, hingga 2 juta kura-kura moncong babi diambil dari sungai di wilayah Merauke, Papua. Kura-kura ini diperdagangkan secara ilegal setiap tahun untuk membuat obat tradisional Cina dan makanan eksotis.

Tukik, yang paling banyak diperjualbelikan, memiliki harga yang bervariasi tergantung dimana tukik itu dijual. Di desa-desa pedalaman Papua, tukik dapat terjual Rp. 7000 – Rp. 18.000/ekor, sementara di pusat perdagangan domestik seperti Jakarta dan Surabaya seharga Rp. 60.000 – Rp. 100.000/ekor, di pasar internasional tukik dihargai Rp. 500.000 – Rp. 800.000/ekor.

Ribuan telur diambil langsung dari alam untuk ditetaskan, hampir semua pengambilan telur tersebut dilakukan secara ilegal karena masih belum adanya penangkaran khusus untuk Kura-kura spesial ini.

Secara internasional, kura-kura jenis ini berstatus endangered atau terancam dalam daftar merah International Union Conservation Nature (IUCN), status ini hanya dua tingkat lagi menuju kepunahan.

Kura-kura ini juga masuk dalam kategori Appendix II oleh Convention International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES), yang berarti daftar spesies yang dapat terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.

Di Indonesia, Kura-kura moncong babi masuk ke dalam daftar satwa dilindungi menurut Peraturan Menteri LHK No. 106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Kurangnya pengawasan pihak berwenang terkait pengambilan telur dan penyelundupan tukik kura-kura moncong babi dapat meningkatkan potensi kepunahan satwa air ini. Perlindungan habitat dan ketatnya pengawasan perdagangan satwa dapat membantu melestarikan kura-kura jenis ini.

Sumber: www.gardaanimalia.com

Talking Turtles II: WCS Discovers More Turtles That Talk

NEW YORK (June 26, 2017) – Scientists from WCS and other groups have found that the pig-nosed turtle (Carettochelys insculpta) has joined a select group of chatty chelonians that can vocalize. The researchers recorded 182 calls from seven individuals in the wild and in a private breeding facility and found that the turtles communicate with each other while feeding, basking, and nesting.

The researchers published their study in the journal Copeia. Authors include Camila Ferrara, Aquatic Turtle Specialist for WCS; Richard Vogt of the Instituto Nacional de Pequisas da Amazônia; Carla Eisemberg of Charles Darwin University; and J. Sean Doody of the University of Tennessee.

Until recently, scientists believed that most freshwater turtles did not have complex social interactions or postnatal parental care.

The pig-nosed turtle, also called the Fly River turtle, is found in Australia, New Guinea, and Indonesia. It is classified as Vulnerable by IUCN due to the illegal wildlife trade and habitat loss.

Said WCS’s Camila Ferrara, lead author of the study: “Understanding how turtles communicate is important to help to protect them. Noise pollution produced by ships, boats, jet skis, and other motorized watercraft may affect the reception of sound by turtles and potentially interfere with their communication.”

In addition, Ferrara notes that current conservation strategies, which include isolating young individuals in captivity after hatching, might be negatively impacting important social interactions among females and hatchlings.

In 2014, WCS documented vocalization in giant South American river turtles In Brazil. Since the publication of those findings, managers now immediately release hatchlings instead of holding them for up to a month before releasing them into the wild as part of a head-starting program.

WCS’s Bronx Zoo has Fly River turtles on exhibit at JungleWorld, and an individual on exhibit at the World of Reptiles that has been at the zoo since 1958 – longer than any other animal.

WCS works to save turtles and tortoises around the world. In 2012, WCS launched an organization-wide program to revive some of the most endangered turtle and tortoise species. Efforts include breeding programs at WCS’s zoos in New York, head start programs abroad, and working with governments and communities to save species on the brink of extinction.

 

Source: newsroom.wcs.org

Papua Conservation

Asiki, Jair,
Boven Digoel Regency,
Papua 99661

 

T: 021-396-7102
E: mail@papuaconservation.com