Skip to main content

Kilas Balik Sejarah Interaksi Papua dan Negara-negara Eropa dalam Perburuan Cenderawasih

Bulu burung cenderawasih telah menjadi hiasan pada topi kaum bangsawan Eropa pada awal abad 20 (sumber: Kirch, 2006)

Siapa yang tidak kenal dengan burung cenderawasih? Sudah pasti burung ini dikenal identik dengan pulau paling timur Indonesia, yaitu Pulau Papua. Cenderawasih adalah satwa endemik Indonesia Timur, khususnya di Pulau Papua dan Maluku. Burung ini merupakan famili Paradisaeidae yang terdiri dari 42 species.
Dari 42 spesies yang tersebar di dunia, 36 di antaranya hidup di Pulau New Guinea (Papua dan PNG), Maluku; terutama kepulauan Aru, dan Australia (Beehler, 1989).

Terkhusus di Papua-Indonesia, terdapat 28 jenis cenderawasih. Meskipun begitu, jauh sebelum masyarakat Indonesia secara umum mengenal adanya burung surga ini, nun jauh di Eropa, justru keindahan bulu burung ini sudah terkenal di kalangan bangsawan. Mereka menggunakannya untuk menghiasi perhiasan dan topi-topi kaumnya.

Literatur tertua yang pertama kali memunculkan gambar burung cenderawasih adalah pada buku “The Famese Hours” yang merupakan buku doa di Spanyol pada tahun 1522. Pada bulan September 1522, Kapal Victoria (kapal Kerajaan Spanyol) telah menyelesaikan pelayaran panjangnya mengelilingi dunia selama tiga (3) tahun.

Setelah kembali ke Spanyol, ternyata kapal ini juga membawa burung-burung cenderawasih yang sudah mati (diawetkan) tanpa kaki dan sayap. Burung ini sangat cantik sehingga dipersembahkan kepada Raja Spanyol. Kru kapal Victoria mencatat bahwa burung ini diberikan oleh Sultan Bacan dari Kepulauan Tidore-Maluku (tujuan jalur rempah Spanyol).

Menariknya, dari literatur tua ini, dapat ditemukan bahwa penggunaan kata “paradise” pada nama “birds of paradise” dipakai karena orang-orang Eropa yang diberikan burung ini tidak pernah melihat burung ini terbang; hanya diberikan ketika sudah mati dan diawetkan.

Sehingga mereka menyampaikan kepada kerajaan di Spanyol bahwa burung cenderawasih ini tidak mempunyai sayap, tidak pernah terbang dan hanya terbang ketika ditiup oleh angin (Laman & Scholes, 2012). “They have no wings, but instead of them long deathers of different colors, like plumes…… They never fly, except when the wind blows, the people told us that those birds come from the terrestrial paradise, and they called them bolon diuata, that is to say, Birds of God”.
Sumber: The Famese Hours dalam Buku “Birds of Paradise” Tim Laman & Ed Scholes 2012.

Meskipun publikasi terkait burung cenderawasih sudah ada sejak tahun 1500an di Eropa, tingginya permintaan akan bulu cenderawasih terjadi pada dua dekade pertama Abad ke-20. Pada periode ini, topi yang dihiasi bulu burung merupakan gaya/style yang terkenal di antara kaum kosmopolitan Eropa dan Amerika.

Salah satu bulu burung yang sangat diidamkan adalah burung cenderawasih dari Pulau Papua dan Maluku. Pada tahun 1905 hingga 1920, tercatat sebanyak 30.000-80.000 burung cenderawasih diekspor pada pelelangan bulu burung di London, Paris, dan Amsterdam. Tingginya permintaan bulu cenderawasih menyebabkan pemburu dari Malay, Cina, dan Australia mencari burung cenderawasih ini (Kirch, 2006).

Lalu, bagaimana catatan sejarah terkait perjual-belian burung cenderawasih dari Papua ini? Ada beberapa catatan penting yang dapat ditemukan dalam buku-buku karya antropolog seperti Karl Muller, Stuart Kirsch, J.W. Schoorl, dan Margaretha Pangau-Adam et all.

Publikasi para peneliti ini menunjukkan bahwa daerah utama perburuan cenderawasih ialah di Nimboran (saat ini Nimbokrang) di Kabupaten Jayapura, dan wilayah Papua Selatan yaitu daerah Kabupaten Boven Digul (di antara Ok Tedi dan Fly River).

Daerah pedalaman Nimboran (Nimbokrang), di sebelah barat Danau Sentani, menjadi daerah yang pertama kali mengalami kontak dengan para pemburu burung Cenderawasih pada akhir tahun 1890an (Muller, 2011). Burung Cenderawasih biasanya diburu dengan menggunakan ketapel atau senapan angina (Pangau-Adam & Noske, 2010).

Selain itu, metode pemburuan yang sering digunakan adalah menunggu hingga burung ini hinggap pada pohon tempat bermain atau tempat mencari minum di dekat tanah (Bulmer, 1968).

Interaksi intensif antara masyarakat suku Muyu dengan kaum pendatang juga disebabkan oleh perjual-belian burung cenderawasih yang terjadi pada tahun 1914-1926. Burung ini diburu dan dijual dari suku asli kepada pedagang Indonesia dan Cina.

Sebagai barter, burung cenderawasih ditukarkan dengan barang-barang dari luar seperti pisau dan kapak. Anak-anak muda suku asli seringkali turun langsung bersama para pemburu untuk mencari burung cenderawasih. Hal inilah yang menjadi pintu utama nilai-nilai Barat mulai dikenalkan kepada masyarakat Muyu (Schoorl, 1970).

Selain suku Muyu, Stuart Kirch dalam tulisannya “History and The Birds of Paradise” menuliskan bahwa suku Yonggom juga berinteraksi dengan bangsa Eropa pada tahun 1873 dalam perdagangan burung Cenderawasih jenis Paradisaea Apoda (cenderawasih kuning besar).

Suku Yonggom berada di antara Ok Tedi dan sungai suku Muyu. Daerah ini memiliki sebaran Cenderawasih Kuning Besar yang banyak sehingga pada periode “Plume Boom” (ledakan bulu), sebuah istilah untuk periode fashion bulu burung di Eropa, spesies cenderawasih ini pula yang banyak dikirim ke sana (Eropa).

Sebagai alat tukarnya, para pemburu dan pembeli cenderawasih memberikan alat-alat seperti pisau dan kapak yang dinilai tinggi oleh Suku Yonggom karena mengurangi tenaga mereka saat harus menebang pohon.

Sementara itu, para pemburu juga berjualan tembakau dan manik-manik porselen putih untuk bisa mendapatkan makanan selama berburu. Burung cenderawasih ini diburu pada bulan April-September saat musim kawin tiba (Kirch, 2006).

Kisah perburuan cenderawasih seperti yang ditemukan dari literatur-literatur di atas menjadi saksi sejarah bahwa manusia memegang peranan penting untuk melindungi dan menjaga hutan Papua agar turut melestarikan burung cenderawasih. Mari kita jaga bersama hutan Papua agar anak cucu kita masih bisa melihat burung Cenderawasih ini.

Referensi
Beehler, B. M. (1989). The Birds of Paradise. 261(6), 116–123. https://doi.org/10.2307/24987520
Bulmer, R. (1968). The Strategies of Hunting in New Guinea. In Source: Oceania (Vol. 38, Issue 4).
Kirch, S. (2006). HISTORY AND THE BIRDS OF PARADISE: Surprising Connection from New Guinea. www.museum.upenn.edu/expedition15
Laman, T., & Scholes, E. (2012). Birds of Paradise. National Geographic Society .
Muller, K. (2011). Pesisir Utara Papua.
Pangau-Adam, M., & Noske, R. A. (2010). Wildlife Assessment and Traditional Ecological Knowledge (TEK) in Indonesian New Guinea (Papua and Papua Barat) View project Seasonal movements of birds in SE Queensland View project. https://www.researchgate.net/publication/244994960
Schoorl, J. W. (1970). NEW GUINEA RESEARCH. The New Guinea Research Unit, The Australian National University .
WWF Indonesia. (2023). Species Cenderawasih .

(*Floranesia Lantang)
*Penulis adalah Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pelita Harapan.

 

Sumber : fokuspapua.com

Cendrawasih Kuning Besar, “Bird of Paradise” yang Kian Rentan

Saat musim kawin, cendrawasih jantan menari dan bergoyang untuk memikat betina. Foto: Freepik

Burung Cendrawasih kuning besar terkenal sebagai endemik yang indah. Pada musim kawin, burung Cendrawasih kuning besar jantan akan melakukan tarian dengan bergoyang-goyang untuk menarik betina sembari bersiul. Namun, di balik indahnya burung Cendrawasih kuning besar (Paradisaea apoda) populasinya rentan, eksistensinya pun sudah menurun drastis.

Nama Paradisaea apoda berarti “Cendrawasih tak berkaki” tak lepas dari peran Carolus Linnaeus pada awal perdagangannya ke Eropa. Spesies ini seolah tanpa sayap dan kaki oleh para pribumi sebagai hiasan.

Hal ini luput dari penjelajah asing. Sehingga mereka percaya bahwa burung ini tak berkaki dan tak pernah mendarat dan berada di udara. Itulah kenapa burung ini juga disebut sebagai “Bird of Paradise”

Morfologi dan Ciri-Ciri 

Di antara genus Paradisaea, spesies ini berukuran paling besar, panjangnya mencapai sekitar 43 sentimeter. Tubuhnya berwarna cokelat marun serta bermahkota kuning. Bagian tenggorokannya berwarna hijau zamrud dan bantalan dadanya cokelat kehitaman.

Burung jantan Cendrawasih kuning besar mempunyai panggul besar dan berwarna kuning dengan sepasang ekor kawat yang panjang. Sedangkan betina berbulu cokelat marun dan tak bergaris.

Melalui Undang-Undang No 5 Tahun 1990 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 301/KptsII/1992, spesies ini termasuk salah satu burung yang pemerintah lindungi.

Ditinjau dari tingkat kelangkaannya, sesuai dengan kategori yang IUCN Red Data Book gunakan, burung Cendrawasih (Paradisaea apoda) termasuk kategori 2. Satwa ini populasinya jarang atau terbatas dan mempunyai risiko punah (Restricted/Rare).

Habitat dan Distribusi 

Spesies Cendrawasih kuning besar terkenal hidup menyendiri di pegunungan hutan tropis dan bersarang di atas pohon yang tinggi dan besar. Meski demikian, mereka juga kerap berada di semak-semak belukar.

Sarang burung Cendrawasih terbuat dari dahan-dahan atau lubang pohon. Mereka tersebar di hutan dataran rendah dan bukit di barat daya Pulau Irian dan Pulau Aru, Maluku Indonesia. Mereka biasa makan biji-bijian, buah-buahan hingga serangga kecil.

Perilaku dan Kebiasaan 

Burung Cendrawasih merupakan jenis yang sangat peka terhadap lingkungan. Jika lingkungan kebera­daannya terusik atau terganggu, maka jenis ini akan mencari lingkungan baru yang lebih aman.

Jenis pohon yang sangat burung Cendrawasih gemari sebagai penyedia sumber pakan di antaranya seperti Areca catechu dan Eugenia spp. Jenis-jenis vegetasi inilah yang lebih sering mereka gunakan dan manfaatkan sebagai sumber pakan.

Sementara habitat kawin jenis pohon yang biasanya yaitu di Myristica fatua HouTT, Ficus benjamina, Diospyros lolin Bakh dan Eugenia rumphii MERR.

Spesies ini menyukai dahan yang tinggi untuk melakukan aktifitas kawinnya. Setelah kawin, betina Cendrawasih hanya dapat menghasilkan 2-3 telur saja.

Manfaat Cendrawasih Kuning Besar

Meski vegetasi penyedia sumber pakan, bersarang, bertengger dan kawin masih cukup tersedia, tetapi populasi “burung surga” ini rentan. Terutama Cendrawasih jantan yang rentan akan perburuan sebagai cinderamata.

Penduduk sekitar mulai berburu Cendrawasih untuk mereka jual dengan harga tertentu. Mereka biasa memburunya baik dalam keadaan mati maupun hidup.

Padahal, peran Cendrawasih penting bagi ekosistem alam. Kehadiran mereka di dalam hutan merupakan pertanda bahwa kualitas hutan tersebut masih dalam kondisi baik dan sehat.

Burung ini adalah bagian penting dari ekosistem hutan di Tanah Papua maupun di Kepulauan Maluku karena sebagian besar Cenderawasih adalah pemakan buah. Mereka berperan penting dalam penyebaran biji dan mengontrol populasi serangga dalam hutan.

Taksonomi Cendrawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda)

 

Sumber : greeners.co

Cenderawasih, Burung Cantik Ikonik Tanah Papua

Siapa sih yang tidak tahu burung yang satu ini? Burung ini merupakan satwa endemik yang hanya terdapat di wilayah Indonesia bagian Timur Papua, Papua Nugini, pulau-pulau selat Torres, dan Australia timur.

Burung Cenderawasih merupakan Famili Paradisaeidae yang memiliki 14 genus dan 43 spesies.

Penamaan Cenderawasih terdiri dari dua suku kata yaitu “Cendera” yang berarti dewa atau dewi dan “Wasih” yaitu utusan. Jadi burung cendrawasih dianggap sebagai burung urusan pada dewa dewi.

Burung Cenderawasih dijuluki sebagai “Bird of Paradise” atau burung surga berkat keindahan dan kecantikan warna bulu-bulunya, membuat siapa pun yang melihatnya menjadi terpikat.

Bulu pada Burung Cenderawasih memiliki warna yang mencolok, cerah, dan menarik seperti warna biru, orange, hijau, merah, hingga kuning.

Apakah kamu tahu, Alasan Burung Cendrawasih Langka?

1. Faktor Perburuan

Faktor pertama yaitu karena banyak di buru oleh manusia. Mereka mengambil bagian bulunya yg indah untuk dijadikan sebagai hiasan.
Bagi masyarakat papua, bulu tersebut dijadikan hiasan pakaian adat Papua khususnya hiasan kepala dalam ritual penyambutan tamu, ritual adat, atau pun ritual pernikahan.

Selain itu, pada zaman dahulu sekitar tahun 1522, burung cendrawasih dijadikan komoditas utama bangsa Eropa. Mereka menjual bulu satwa tersebut untuk dijadikan hiasan topi wanita.

2. Faktor Berkembang biak

Selain diburu, faktor lain yang membuat Burung ini langka yaitu Cenderawasih betina hanya bertelur dua atau tiga butir dalam satu masa kawin dalam setahun. Apabila perburuan terus dilakukan, maka dapat dipastikan punah dimasa yang akan datang.

Namun demikian, zaman semakin berkembang timbulah kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan satwa ini. Dengan upaya untuk menjaga keaslian ekosistem serta populasinya.

Kamu harus tahu nih, Burung Cenderawasih yang biasa kita lihat yaitu genus Paradisaea yaitu jenis Cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda).

Berikut beberapa spesies Burung Cenderawasih yang terdapat di Indonesia,

1. Cenderawasih Astrapia Arfak (Astrapia nigra)

2. Cenderawasih Astrapia Ekor Pita (Astrapia Mayeri)

3. Cenderawasih Paradigala Ekor Panjang (Paradigalla carunculata)

4. Cenderawasih Belah Rotan (Cicinnurus magnificus)

5. Cenderawasih Mati Kawat (Seleucidis melanoleuca)

6. Cenderawasih Raja (Cicinnurus regius)

7. Cenderawasih Botak (Cicinnurus respublica)

8. Cenderawasih Parotia Arfak (Parotia sefilata)

9. Cenderawasih Pale-billed Sicklebill (Drepanornis Bruijnii)

10. Cenderawasih Toowa Cemerlang (Lophorina magnifica)

Yuk selamatkan satwa langka dengan cara melestarikan habitat dan populasi aslinya agar tidak punah.

Semoga Bermanfaat, ya!.

 

Sumber : kompasiana.com

Asal-usul Burung Cendrawasih, Tokoh dan Pesan Moral

Burung Cendrawasih.(Shutterstock/Wisnu Yudowibowo)

Burung Cendrawasih memiliki bulu-bulu yang indah seperti bidadari. Burung Cendrawasih masuk dalam spesies Paradisaeidae dari ordo Passeriformes. Satwa ini ditemukan di Indonesia bagian timur Papua, Papua New Guinea, Australia Timur, dan pulau-pulau selat Torres. Dibalik keindahannya, Burung Cendrawasih menjadi salah legenda yang merupakan cerita rakyat Papua Barat. Dikutip dari buku cerita rakyat Papua Barat ‘Cenderawasih Si Burung Bidadari’ yang ditulis Dwi Pratiwi menceritakan tentang asal-usul Burung Cenderawasih.

Burung Cendrawasih  Asal-usul Burung Cendrawasih Legenda asal-usul Burung Cendrawasih menceritakan kisah seorang anak bernama Kweiya yang tinggal bersama ibu Baria, bapak tiri (Pak Bone) dan adik tirinya, Niko dan Kiara.

Suatu hari Kweiya tidak ikut ayah dan ibu ke ladang. Kweiya mengajari dua adiknya belajar menganyam noken, tas papua yang terbuat dari serat kayu.

Niko, salah satu adik tiri Kweiya, merasa putus asa karena tidak bisa membuat noken, dia malah mengulur-ulur benang.

Kweiya menegurnya, karena benang yang sudah terulur susah dijalin.

Niko tidak menghiraukan perkataan kakaknya. Ia tetap mengulur benang menjadi tidak beraturan.

Kweiya tidak banyak bicara, namun ia langsung mengambil benang yang diulur Niko lalu masuk ke dalam rumah dengan sedikit kesal.

Kiara, adik tiri Kweiya, memanggil kakaknya yang tidak keluar-keluar dari dalam rumah.

Ternyata di dalam rumah, Kweiya bersembunyi di salah satu sudut rumah sambil memintal benang. Pintalan benang itu akan digunakan untuk membuat sayap.

Saat bapak dan ibu pulang dari ladang, mereka ikut mencari Kweiya setelah mendengar peristiwa yang menyebabkan Kweiya pergi meninggalkan kedua adiknya.

Beramai-ramai, mereka mencari sambil memanggil-manggil nama Kweiya, namun yang terdengar justru suara burung.

Setiap nama Kweiya dipanggil yang menjawab malah suara burung.

Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang pada ketiaknya. Lalu, ia melompat ke atas bubungan rumah dan terbang ke salah satu dahan pohon di sekitar rumah.

Ternyata, Kweiya telah berubah menjadi burung yang sangat indah dengan bulu berwarna-warni.

Mengetahui hal tersebut, ibu Baria menangis tersedu-sedu sambil meminta benang pintalan. Ia sampai duduk bersimpuh sambil menatap burung yang ada dahan pohon.

Ibu Baria masih tidak percaya dengan pemandangan yang ada dihadapannya. Lalu, ia menanyakan pada Kweiya yang telah berubah menjadi burung tentang benang pintalan untuknya.

Kweiya memberitahu bahwa benang pintalan disisipkan di dalam payung tikar.

Ibu Baria segera mencari benang pintalan dan menyisipkan pada ketiaknya. Seketika, ibu Baria berubah menjadi seekor burung. Setelah itu, ia mengepak-ngepak sayapnya dan menyusul Kweiya bertengger di dahan pohon.

Sementara bapak dan kedua adik tiri Kweiya hanya bisa pasrah menerima peristiwa ajaib itu. Lalu, Pak Bone memberi nama burung itu manbefor.

Untuk mengungkapkan rasa sayang pada ibu Baria dan Kweiya, Kiara dan Niko menutup wajahnya dengan kain hitam. Seketika, mereka berubah menjadi burung dan terbang ke hutan rimba menyusul ibu Baria dan Kweiya.

Itulah sebabnya di hutan rimba Papua dipenuhi beragam burung, selain Burung Cendrawasih.

Burung Manbefor yang sekarang dikenal sebagai Burung Cendrawasih sangat terkenal dengan keindahan bulunya.

Pesan Moral Legenda Burung Cendrawasih

Cerita ini mengajarkan bahwa keluarga selalu dapat diandalkan. Keluarga akan melakukan apa saja untuk memberikan dukungan. Untuk itu itu, keluarga adalah keutamaan yang dimiliki dalam hidup. Editor: Sri Anindiati Nursastri

Sumber: Kompas.com

Potret Cendrawasih dalam Seni Ukir Kayu, Pameran Seni di Galeri B9 Unnes

Pengunjung menikmati karya seni ukir di Anung Gunarto, menggelar pameran seni ukir kayu di Galeri B9 Universitas Negeri Semarang, Selasa (12/10). (suaramerdeka.com/ Aristya Kusuma Verdana)

SEMARANG, suaramerdeka.com – Perupa asal Bandungrejo, Karanganyar, Demak, Anung Gunarto, menggelar pameran seni ukir kayu di Galeri B9 Universitas Negeri Semarang pada Senin-Minggu (11-17/10 ).

Karya yang disajikan adalah potret kehidupan burung cendrawasih ekor kuning.

“Menikmati keindahan burung cendrawasih ekor kuning dalam bentuk seni ukir. Sekaligus sebagai sarana kampanye pelestarian populasi burung tersebut,” kata Anung.

Di galeri, terdapat sebanyak 10 karya seni ukir berbentuk persegi panjang, lengkap dengan figura kayu.

Karya ini diberi nama Cendrawasih 1-Cendrawasih 10. Anung menampilkannya dengam ukuran 60×80 cm.

“Galeri dibuka siang hari. Sampai pukul 15.00,” bebernya.

Pameran ini, kata dia, dibuka untuk umum. Letak gedung berada di samping Kampung Budaya Univeristas Negeri Semarang.

Pengunjung dapat melewati gerbang utama kampus. “Tetap mematuhi protokol kesehatan yang ketat,” tuturnya.

Mahasiswa tingkat akhir Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang tersebut menggambarkan kehidupan burung yang berasal dari Provinsi Papua dalam warna cokelat.

Anung mempertahankan ciri khas seni ukir dengan warna alaminya.

“Burung cendrawasih ekor kuning memiliki bentuk tubuh yang sangat indah, khususnya burung jantan saja. Memiliki bulu dan ekor yang sangat eksotik dan bentuk tubuh yang lebih besar dari betina. Keeksotikannya digunakan untuk menarik perhatian burung betina.”

Dia menjelaskan, burung ini memiliki habitat di hutan hujan tropis. Biasanya burung ini tinggal di lembah-lembah wilayah pegunungan.

Mereka suka bergelantungan di ranting pohon terbalik. Hal itu dilakukan saat musim kawin.

“Bulu ekornya mengembang sambil dikibas-kibaskan. Para pejantan juga bersuara untuk menarik perhatian burung betina,” tulisnya.

Saat ini, kata dia, burung yang dikategorikan sebagai satwa yang dilindungi tersebut hampir punah. Pengembangbiakannya terbilang lambat dari burung lainnya.

Dalam sekali bertelur mereka menghasilkan satu hingga dua telur.

“Burung ini harus dijaga populasinya,” pungkasnya.

 

Sumber : suaramerdeka.com

Lebih Dekat dengan Cenderawasih, Hewan Endemik Papua yang Dijuluki Bird of Paradise

Arthur Chapman

GridKids.id – Kids, kali ini kamu akan diajak untuk mengenal lebih dekat satwa endemik Papua yaitu burung cenderawasih.

Burung cenderawasih merupakan kelompok famili Paradisaeidae yang masuk dalam ordo Passeriformes.

Habitatnya berada di wilayah Indonesia Timur tepatnya di Papua, Papua Nugini, pulau-pulau Selat Torres, dan Australia Timur.

Cenderawasih bahkan dijuluki sebagai Bird of Paradise atau burung dari surga karena keindahannya yang seolah turun dari surga.

Masyarakat Papua meyakini bahwa burung cendrawasih adalah titisan dari surga karena keindahan warna bulu burung ini yang amat memesona. Bulu cenderawasih memang sering dipergunakan untuk pakaian dan acara adat masyarakat Papua.

Nama cenderawasih menurut etimologi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cendra yang berarti dewa atau dewi, dan wasih yang artinya utusan.

Salah satu spesies burung cendrawasih yang terkenal adalah Cenderawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda) yang dulunya menjadi komoditi dagang masyarakat pribumi Papua dengan orang-orang Eropa.

Berikutnya akan dijelaskan tentang karakteristik dan fakta unik perilaku burung endemik Papua yang memiliki tampilan cantik ini.

Yuk, langsung simak seperti apa uraian informasi di bawah ini!

Karakteristik Burung Cenderawasih

Stavenn

Burung cenderawasih memiliki bulu-bulu indah, khususnya pada burung jantannya.

Bulu cenderawasih biasanya berwarna cerah yaitu campuran warna hitam biru, kuning, merah, cokelat, hijau dan putih.

Burung ini memiliki ukuran yang sangat beragam, mulai dari 15 cm hingga 110 cm dengan berat berkisar antara 50 gram hingga 430 gram berdasar spesiesnya.

Bentuk kaki burung ini adalah untuk tipe burung petengger dengan jari kaki yang panjang dan telapak kaki datar.

Bentuk kaki itu akan memudahkan burung untuk bertenggar di ranting pohon.

Paruhnya adalah paruh burung pemakan biji yang berbentuk tebal dan runcing, bentuk paruh tersebut berguna untuk memecahkan biji.

Makanan cenderawasih adalah biji-bijian, buah berry, serangga, dan ulat.

Habitat burung cenderawasih berada di kawasan hutan dataran rendah hingga daerah pegunungan di wilayah Indonesia Timur, yaitu hutan tropis dengan vegetasi lebat di wilayah kepulauan Selat Torres, Pulau Papua (Indonesia dan Papua Nugini), dan Australia Timur.

Beberapa jenis pohon yang sering dijadikan tempat tinggal cenderawasih adalah pohon beringin, pohon pala, pohon pandan, kayu merbau, semai nyatoh, dan Hapololobus sp.

Pohon-pohon tersebut dijadikan tempat bernaung, bertengger, melindungi diri dan bersarang untuk telur-telurnya. Cenderawasih kuning kecil (Paradisaea minor) banyak berkembang di pohon beringin.

Burung ini cocok hidup di hutan primer, sehingga jika habitatnya sudah mengalami perubahan, burung ini akan pindah ke wilayah lain yang memiliki karakteristik tepat untuk habitat tinggalnya.

Perilaku Burung Cenderawasih

Andrea Lawardi

Burung cenderawasih adalah hewan yang soliter atau hidup dalam kelompok kecil dan hanya akan berkumpul ketika musim kawin.

Seperti cenderawasih kuning kecil yang umumnya hidup dalam kelompok kecil sejumlah 2 ekor, bisa jantan betina atau dengan kombinasi jenis kelamin yang sama.

Ketika musim kawin, cenderawasih akan menari untuk menarik perhatian cenderawasih betina.

Sebelum menari dan mempertontonkan bulu-bulunya yang cantik, cenderawasih jantan akan membersihkan paruh dan lingkungan di sekitar sarang.

Tarian burung cenderawasih jantan akan dibarengi dengan kicauan yang khas.

Hewan ini memulai aktivitasnya sejak pagi ketik matahari terbit dan akan beristirahat ketika cuaca sudah berubah panas atau menjelang sore hari, bertengger di percabangan rendah atau miring dan terlihat meregangkan sayapnya.

Di Jayapura, Papua, sekarang sudah tersedia lokasi untuk mengamati langsung burung cenderawasih yang enggak terlalu jauh dari pusat kota, yaitu Wisata Alam Bird of Paradise di Kampung Tablasupa, Distrik Depapre, dan di Bird Watching Isyo Hills di Kampung Repang Muaif, di Distrik Nimbokrang.

Itulah tadi uraian tentang karakteristik dan perilaku dari cenderawasih, burung endemik Papua yang memiliki bulu-bulu yang cantik dan eksotis ini.

 

Sumber : grid.id

BBKSDA Papua ingatkan penggunaan mahkota cenderawasih imitasi

Kepala BBKSDA Papua Edward Sembiring meminta dukungan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi dalam perlindungan terhadap satwa cenderawasih dengan menggunakan yang imitasi (ANTARA News Papua/HO-Humas BBKSDA Papua)

Ancaman serius bagi penggunaan mahkota cenderawasih asli

Jayapura (ANTARA) – Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua kembali mengingatkan untuk penggunaan mahkota cenderawasih imitasi dalam perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX di wilayahnya.

Kepala BBKSDA Papua Edward Sembiring di Jayapura, Senin, mengatakan hal ini untuk memberikan perlindungan terhadap jenis cenderawasih kuning kecil (Paradisaea minor) dan cenderawasih kuning besar (Paradisaea apoda) yang melekat dalam tatanan adat sebagian besar suku di Papua.

“Langkah perlindungan tersebut adalah penggunaan mahkota cenderawasih imitasi sebagai pengganti yang asli,” katanya.

Menurut Edward, pihaknya juga meminta dukungan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi dalam perlindungan terhadap satwa cenderawasih.

“Dalam ajang PON XX yang akan digelar di Papua pada 2021 dapat menjadi ancaman serius bagi penggunaan mahkota cenderawasih asli,” ujarnya.

Dia menjelaskan salah satu langkah tepat mencegah tindak ilegal terhadap cenderawasih adalah dengan memproduksi mahkota cenderawasih imitasi.

“Hal ini telah dirintis oleh Kelompok Desa Binaan Konservasi Kena Nembey di Kampung Tablasupa, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura,” katanya lagi.

Dia menambahkan harapan pihaknya, produksi mahkota cenderawasih imitasi ini bisa menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat setempat, peluangnya sangat besar untuk dipasarkan saat PON XX, menjadi buah tangan khas Papua.

“Kami perlu dukungan berbagai pihak dalam perlindungan cenderawasih dengan cara menggunakan mahkota imitasi, bukan yang asli,” ujarnya lagi.

Lodiwik yang bermarga Serontouw menjadi salah satu pelopor perlindungan cenderawasih di Kampung Tablasupa. Bila dirunut dari sejarah, tidak bersinggungan secara langsung dengan satwa liar dilindungi tersebut. Upaya melindungi burung cenderwasih ini menandakan bahwa perlindungan terhadap satwa liar milik negara, khususnya cenderawasih, dapat dilakukan oleh semua pihak tanpa pengecualian.

Sebelumnya, Kepala BBKSDA Papua Edward Sembiring menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja Komisi IV DPR RI bersama para Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Taman Nasional pada Kamis (16/9) di Jakarta.

Dalam pertemuan tersebut, Edward meminta dukungan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi dalam perlindungan terhadap satwa cenderawasih dengan menggunakan yang imitasi.

Mahkota Cenderawasih Bukan Untuk Cendera Mata

Gardaanimalia.com – Pada awal abad ke-16, kapal-kapal dagang bersandar di dermaga Cambay, India. Mereka baru saja mengarungi perjalanan panjang dari perairan paling timur Asia Tenggara sembari singgah di pulau-pulau dengan nama asing seperti Aru dan Tanimbar. Dari kapal-kapal itu, diturunkan kargo berisi barang-barang eksotik hasil transaksi dengan penduduk lokal. Di antaranya adalah tiga puluh potong pakaian dengan bulu-bulu kuning menyala dan satu tubuh burung awetan tanpa kaki dengan bulu yang sama kuningnya. Awetan burung itu memukau seluruh orang. Saking cantiknya, mereka mengira dia diturunkan langsung dari surga. Bird of paradise, sebut mereka.

Tomé Pires, seorang ahli obat Portugis, mencatat hal ini dalam bukunya Suma Oriental. Catatan ini menjadi bukti pertama perdagangan internasional burung cenderawasih.((Pires, T. 1944. The Suma Oriental of Tomé Piresof 1512-1515. McGill University Library (kontributor). London: The Hakluyt Society, 578 hal. Diakses dari https://archive.org/details/McGillLibrary-136385-182/page/n155/mode/2up pada 15 September 2021.)) Semenjak itu, permintaan bulu burung cenderawasih sebagai bagian dari mode terus meningkat.

Tren ini memuncak pada awal abad ke-20 ketika bulu cenderawasih menjadi busana kaum elit bagi orang Eropa dan Amerika Serikat.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546))((Kirsch, S. 2006. “History and the Birds of Paradise. Surprising Connections from New Guinea”. Penn Museum Expedition Magazine. 48(1): 15-21. Diakses dari https://www.penn.museum/sites/expedition/history-and-the-birds-of-paradise/pada 14 September 2021.)) Antara tahun 1905 dan 1920, 30.000 hingga 80.000 burung cenderawasih dibunuh setiap tahunnya untuk memenuhi permintaan pasar. Seluruh usaha untuk menghentikan kepunahan burung ini sia-sia. Namun beruntung, burung cenderawasih selamat karena tren busana bergeser dan permintaan pasar turun.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546))

Seratus tahun berselang setelah selamat dari kepunahan, kali ini burung cenderawasih bertemu ancaman baru. Tapi kali ini ancaman itu tidak datang dari negeri-negeri Eropa dan Amerika. Dia kebanyakan hadir dari orang-orang lokal yang tergiur dengan suvenir burung cenderawasih, baik dalam bentuk awetan maupun sebagai hiasan pada mahkota. Tidak sedikit cendera mata yang diselundupkan sebagai barang ilegal.((Tim Pembela Satwa Liar. 2021. “Karantina Pertanian Ternate Gagalkan Penyelundupan Awetan Cenderawasih”. Garda Animalia. Diakses dari https://gardaanimalia.com/karantina-pertanian-ternate-gagalkan-penyelundupan-awetan-cenderawasih/pada 15 September 2021.))((Tubaka, N. 2018. “Polisi Sita Puluhan Cenderawasih Awetan di Kepulauan Aru”. Mongabay. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2018/08/15/polisi-sita-puluhan-cenderawasih-awetan-di-kepulauan-aru/ pada 15 September 2021.))

Yang paling hangat adalah merebaknya isu kalau mahkota cenderawasih akan dijadikan cendera mata pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XX yang dituanrumahi oleh Provinsi Papua pada awal Oktober mendatang.((co. 2021. “Beramai-ramai Tolak Mahkota Burung Cenderawasih sebagai Suvenir PON Papua”. Andryanto, S.D. (ed). Tempo. Diakses dari https://sport.tempo.co/read/1502394/beramai-ramai-tolak-mahkota-burung-cenderawasih-sebagai-suvenir-pon-papua pada 14 September 2021.)) Berbagai pihak secara tegas menolak ide ini. Penolakan berpusat pada kekhawatiran terhadap keberadaan cenderawasih yang sudah semakin langka. Gracia Josaphat Jobel Mambrasar, Duta Pembangunan Berkelanjutan Sustaniable Development Goals (SDGs) Indonesia, serta Tonny Tesar, Bupati Kabupaten Yapen, menyatakan bahwa populasi burung cenderawasih terus menurun dan pemberian hiasan cenderawasih sebagai cendera mata PON merupakan langkah yang tidak bijaksana.((co. 2021. “Beramai-ramai Tolak Mahkota Burung Cenderawasih sebagai Suvenir PON Papua”. Andryanto, S.D. (ed). Tempo. Diakses dari https://sport.tempo.co/read/1502394/beramai-ramai-tolak-mahkota-burung-cenderawasih-sebagai-suvenir-pon-papua pada 14 September 2021.)) Yang biasa dijadikan mahkota dan awetan, dengan bulu coklat dan ekor kuning-putih, adalah burung cenderawasih jenis Paradisaea. Jenis ini mencakup tujuh spesies yang di antaranya meliputi cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih kuning-kecil (Paraidsaea minor), dan cenderawasih raggiana (Paradisaea raggiana).((Irestedt, M., Jønsson, K.A., Fjeldså, A., Christidis, L., Ericson, P.G.P. 2009. “An unexpectedly long history of sexual selection in birds-of-paradise”. BMC Evolutionary Biology. 9: 235. DOI: https://dx.doi.org/10.1186%2F1471-2148-9-235))

Dalam IUCN Red List, diketahui bahwa seluruh spesies cenderawasih dalam jenis Paradisaea mengalami penurunan populasi. Tiga di antaranya masih berada dalam status kekhawatiran rendah (least concern), dua berada dalam status hampir terancam (near threatened), dan dua berada dalam status rentan (vulnerable). Status ini sebenarnya tidak memberikan gambaran yang utuh karena jumlah spesies cenderawasih sampai saat ini tidak diketahui secara pasti. Dengan tingginya perburuan, sangat memungkinkan kalau kondisi mereka jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang dilaporkan. Pada Peraturan Menteri LHK No. P106 tahun 2018, seluruh spesies cenderawasih yang ada di Indonesia masuk ke dalam daftar hewan diindungi.((Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Jakarta: Sekretariat Negara.))

Sebenarnya sudah terdapat dua aturan pemerintah yang menegaskan bahwa transaksi produk cenderawasih tidak diperbolehkan. Yang pertama adalah UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang diuraikan dalam Peraturan Menteri LHK No. P106 tahun 2018. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menyimpan dan memperniagakan hewan yang dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati, termasuk cenderawasih di dalamnya. Aturan yang kedua adalah Surat Edaran Nomor 660.1/6501/SET tanggal 5 Juni 2017 oleh Provinsi Papua yang melarang penggunaan burung cenderawasih sebagai aksesoris dan cendera mata.((Suroto, H. 2021. “Kontroversi Mahkota Burung Cenderawasih Jadi Souvenir PON XX Papua”. detikTravel. Diakses dari https://travel.detik.com/travel-news/d-5712450/kontroversi-mahkota-burung-cenderawasih-jadi-souvenir-pon-xx-papua?_ga=2.179060525.841338112.1631610513-1456627288.1630390131pada 14 September 2021.)) Yang diperbolehkan dalam surat edaran ini hanya penggunaan burung cenderawasih asli dalam proses adat istiadat yang bersifat sakral.

Surga Itu Terancam Runtuh pada Sebuah Pekan Olahraga

Mahkota cenderawasih merupakan simbol kebesaran masyarakat adat Papua yang hanya boleh dikenakan oleh seorang tokoh adat wilayah pesisir atau kepala suku wilayah daerah pegunungan pada acara-acara tertentu saja.((Suroto, H. 2021. “Kontroversi Mahkota Burung Cenderawasih Jadi Souvenir PON XX Papua”. detikTravel. Diakses dari https://travel.detik.com/travel-news/d-5712450/kontroversi-mahkota-burung-cenderawasih-jadi-souvenir-pon-xx-papua?_ga=2.179060525.841338112.1631610513-1456627288.1630390131pada 14 September 2021.))((Mayor, R.J. 2021. “’Mahkota Cenderawasih Simbol Kebesara, Jangan Pakai Sembarangan di PON XX Papua’”. Merdeka. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/mahkota-cenderawasih-simbol-kebesaran-jangan-pakai-sembarangan-di-pon-xx-papua.html pada 15 September 2015.)) Dahulu, bulu cenderawasih dipakai oleh prajurit-prajurit Papua sebagai simbol kekebalan. Oleh para wanita, bulu cenderawasih dikenakan sebagai lambang kesuburan.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546))

Namun, berawal dari interaksi suku Papua dengan bangsa Eropa, nilai dari seekor cenderawasih bergeser. Bulu burung ini awalnya dipakai sebagai hadiah kepada raja-raja Eropa. Lama kelamaan, dia dipakai sebagai alat tukar dengan barang-barang berharga lainnya. Dewasa ini, cenderawasih justru menjadi sekadar suvenir. Dalam kata-kata Rosaline Rumaseuw, Ketua Umum Cendikiawan Perempuan Papua, “mahkota ini telah hilang nilai budaya diganti dengan nilai ekonomi. Siapa saja dapat membelinya untuk digunakan pada festival-festival budaya.”((co. 2021. “Beramai-ramai Tolak Mahkota Burung Cenderawasih sebagai Suvenir PON Papua”. Andryanto, S.D. (ed). Tempo. Diakses dari https://sport.tempo.co/read/1502394/beramai-ramai-tolak-mahkota-burung-cenderawasih-sebagai-suvenir-pon-papua pada 14 September 2021.))

Jika mahkota cenderawasih benar-benar diberikan sebagai cendera mata, maka pemerintah seakan-akan mengaminkan kata-kata ini. Nilai kultural dan kesakralan dari mahkota cenderawasih akan jatuh hingga akhirnya pakaian ini hanya menjadi mode busana lainnya. Kita akan kembali pada abad di mana bulu cenderawasih sekadar menjadi jambul pada topi-topi bangsawan Eropa. Ironisnya, pemerintahlah yang bergerak sebagai promotor utama.

Lebih daripada itu, pemberian cendera mata akan memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah terhadap usaha konservasi spesies yang dilindungi. Dengan menyebarluaskan produk hewan dilindungi, PON, sebuah acara nasional yang digelar oleh pemerintah Indonesia, akan melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.

Bisa jadi hanya akan ada satu atau dua mahkota yang disematkan selama PON XX berlangsung dan itu tidak mengganggu populasi cenderawasih secara langsung. Namun, ini tidak berarti masalah menjadi selesai. Dengan menampilkan cendera mata cenderawasih walaupun barang satu ekor, pemerintah memberikan lampu hijau kepada calon-calon oknum untuk memburu dan memperjualbelikan burung cenderawasih dengan lebih leluasa. Efek domino dari kegiatan ini seharusnya terlalu kentara untuk tidak dapat dilihat oleh para pemangku kebijakan.

Fakta bahwa beberapa spesies cenderawasih masih pada status kekhawatiran rendah (least concern) dalam daftar IUCN tidak dapat dijadikan alasan. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, rendahnya status burung cenderawasih dalam daftar IUCN lebih merefleksikan lemahnya penelitian cenderawasih ketimbang memperlihatkan populasi asli burung ini di alam liar. Lagipula, sebanyak apapun jumlahnya, hewan endemik seperti cenderawasih akan selalu lebih rentan punah karena mereka tersebar pada wilayah yang sangat terbatas.((Isik, K. 2011. “Rare and endemic species: why are they prone to extinction?”. Turkish Journal of Botany. 35(4): 411-417. DOI: http://dx.doi.org/10.3906/bot-1012-90)) 

Kabar baiknya, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, menegaskan bahwa mahkota cenderawasih tidak akan diberikan sebagai cendera mata bagi peserta PON XX. Jika memang akan ada, yang akan diberikan adalah mahkota dengan bulu cenderawasih imitasi.((Wally, E. 2021. “Bupati Jayapura: Topi Cenderawasih tidak dikenakan pada tamu PON XX”. Jubi. Diakses dari https://jubi.co.id/papua-bupati-jayapura-topi-cenderawasih-tidak-dikenakan-pada-tamu-pon-xx/pada 15 September 2021.)) Namun, sampai benar-benar bisa dibuktikan bahwa mahkota cenderawasih tidak akan diberikan sebagai cendera mata, masyarakat dan pemerintah perlu tetap melakukan pengawasan agar tidak terjadi pelanggaran yang dapat membahayakan spesies burung cenderawasih manapun.

Ada kepercayaan di kalangan masyarakat adat Papua bahwa ketika sekarat, cenderawasih akan terbang ke arah matahari hingga dia kelelehan dan akhirnya jatuh ke Bumi.((Andaya, L.Y. 2017. “Flights of fancy: The bird of paradise and its cultural impact”. Journal of Southeast Asian Studies. 48(3): 372-389. DOI: https://doi.org/10.1017/S0022463417000546)) Jika kita tidak menghormati burung-burung surga ini, mungkin satu hari kita akan melihat mereka berbondong-bondong pergi ke sana. Sebagian akan mati dan jatuh kembali ke Bumi, sedangkan yang lainnya akan hangus terbakar dalam api. Mereka akan memilih untuk mati bersama-sama secara alami ketimbang dijerat dan dipereteli oleh tangan tamak manusia yang hanya melihat mereka sebagai pelumas gerigi ekonomi.

Surga akan runtuh di hadapan kita dan yang tersisa pada langit Papua hanya warna biru yang pucat pasi.

 

Mahkota Burung Cenderawasih Hanya Untuk Kepala Suku, Bukan Pejabat Pemerintahan

Cenderawasih kuning besar

TRIBUN-PAPUA.COM,JAYAPURA– Kepala Suku Alex Waisimon mengatakan mahkota burung cenderawasih hanya untuk raja atau kepala suku, bukan untuk pejabat pemerintahan

“Saya rasa sudah jelas, bahwa penggunaan Mahkota Burung Cenderawasih hanya untuk raja atau kepala suku, tidak untuk pejabat pemerintahan,” kata Alex kepada Tribun-Papua.com, Selasa (7/9/2021).

Sejak 2017, kata dia, setelah dikeluarkannya surat edaran Gubernur Papua kala itu, Alex mengatakan semua pihak telah berkomitmen, untuk tidak menggunakan Mahkota Burung Cenderawasih asli secara bebas.

“Mahkota Burung Cenderawasih memiliki hal-hal sakral, dan hak adat tidak dapat dipindahkan kepada siapapun, termasuk presiden,”ujarnya.

Secara adat, menurut Alex penggunaan mahkota asli Burung Cenderawasih yang dikenakan, hanya pada saat tertentu oleh raja atau kepala suku.

“Raja atau kepala suku mengenakannya hanya saat upacara adat atau pesta, masyarakat dapat ditunjuk langsung untuk memakainya,”katanya.

Hanya saja setelah upacara ataupun pesta usai, menurut dia, Mahkota Burung Cenderawasih asli tersebut disimpan kembali ke tempat yang aman.

“Kalau ada anak adat yanh kenakan Mahkota Burung Cenderawasih, maka dia tidak paham adat,”ujarnya.

Dalam tatanan adat, perburuan Burung Cenderawasih juga dilarang keras oleh nenek moyang, dan ada sanksi adatnya.

Alex menyampaikan hal itu menyusul polemik terkait penyediaan souvenir ataupun Mahkota Burung Cenderawasih Asli saat PON XX 2021 nanti, yang kini marak dibicarakan.(*)

 

Sumber : tribunnews.com

Ada Penolakan! Soal Mahkota Cenderawasih Jadi Suvenir PON, Burung Sakral di Papua – Bali

Cendrawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), salah satu jenis yang paling terkenal. Foto: Dok. WWF Indonesia

JurnalPatroliNews – Jakarta – Masyarakat menolak mahkota cenderawasih menjadi suvenir Pekan Olahraga Nasional atau PON XX di Papua pada Oktober 2021. Burung cenderawasih, termasuk bulunya, memiliki makna yang besar bagi masyarakat Papua dan Bali.

Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan burung cenderawasih adalah pesies burung yang hidup di kawasan Indonesia timur, Papua Nugini dan Australia bagian timur. Burung cenderawasih atau dikenal sebagai burung surga ini memiliki bulu yang indah.”Burung cendrawasih di Papua termasuk jenis The Greater bird of paradise (Paradisaea apoda) telah diintroduksi dari Papua Nugini ke Pulau Tobago Kecil di Trinidad dan Tobago di Karibia,” kata Hari Suroto kepada rekan media. “Keluarga burung ini memiliki 42 spesies di 15 genera dan cenderawasih termasuk burung yang soliter.”

Untuk melihat keseharian burung cendrawasih di habitat aslinya, wisatawan bisa datang ke Sentani, Papua. Saat ini terdapat spot paradise bird watching, yaitu hutan di belakang Kampung Abar, Sentani. Untuk sampai ke sana, cukup menempuh perjalanan darat sekitar 20 menit dari Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.

Burung cenderawasih sudah menyatu dengan budaya masyarakat Papua. Di Papua, mahkota dari burung cendrawasih tidak boleh dikenakan oleh sembarang orang. “Hanya tokoh adat seperti ondoafi dan kepala suku saja yang berhak,” kata Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih.

Burung cendrawasih juga punya peran penting dalam budaya masyarakat Bali. Di Bali, burung cenderawasih atau manuk dewata menjadi sarana penting dalam upacara ngaben. Masyarakat Bali percaya burung cenderawasih berperan sebagai pemandu arwah untuk pergi ke alam keabadian.

Dalam sejarahnya, pada abad VIII, utusan Raja Sri Indrawarman dari Kerajaan Sriwijaya pernah mempersembahkan burung cenderawasih kepada Kaisar Cina. “Burung cenderawasih adalah burung yang dilindungi, tidak boleh diburu, dipelihara, dan diperjualbelikan,” kata Hari Suroto.(*/lk)

 

Sumber : jurnalpatrolinews.co.id