
Pig-nosed turtles. (tnaqua.com)
Jakarta (ANTARA News) – Perdagangan satwa liar ilegal terus marak, sehingga pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk memberantas perdagangan satwa liar guna melindungi kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) yang terancam punah.
Kura-kura moncong babi terus terancam oleh ancaman manusia dan lingkungan, sehingga populasinya terus menurun. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil tindakan untuk mencegah penyelundupan hewan ini.
Pada hari Rabu, Kepolisian Pelabuhan Bakauheni di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, menggagalkan upaya penyelundupan 41 ekor kura-kura moncong babi.
Kura-kura bercangkang berlubang yang dilindungi itu ditemukan di dalam truk dengan nomor polisi BH 8888 GU, yang sedang dalam perjalanan dari Provinsi Jambi di Pulau Sumatera menuju Jakarta, menurut Kepala Kepolisian Pelabuhan Bakauheni Ajun Komisaris Feria Kurniawan.
“Meskipun kura-kura ini tidak dikategorikan sebagai hewan yang dilindungi dan terancam punah, mereka tidak dapat diangkut tanpa dokumen yang sah. Oleh karena itu, kami sita,” ungkapnya.
Kurniawan menuturkan, kura-kura yang disita itu selanjutnya diserahkan ke Balai Karantina Pertanian Bakauheni.
Menurut Kapolda, upaya penyelundupan hewan tak berdokumen itu berhasil digagalkan karena adanya pemeriksaan rutin di Posko Interdiksi Pelabuhan.
Ia menambahkan, pengirim kura-kura itu bernama Aping, warga Jambi, sedangkan penerima kura-kura itu bernama Aken, warga Jakarta.
TRAFFIC, jaringan pemantau perdagangan satwa liar, melaporkan di situsnya http://www.traffic.org pada Oktober 2014 bahwa penangkapan ilegal kura-kura moncong babi yang rentan itu sebagai hewan peliharaan, makanan, dan obat tradisional sudah mencapai taraf mengkhawatirkan.
Dikatakannya, kura-kura moncong babi dilindungi berdasarkan undang-undang nasional dan tercantum dalam lampiran II Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam Punah, yang membatasi perdagangan internasional satwa liar hasil tangkapan.
Sebuah studi tahun 2011 tentang kura-kura hidung babi di Papua menemukan bahwa spesies tersebut mengalami penurunan populasi yang parah akibat penangkapan berlebihan.
Studi terbaru menemukan bahwa telur kura-kura hidung babi dikumpulkan dari tepi sungai oleh penduduk desa, yang mengeraminya di tempat penetasan sebelum menjual kura-kura muda tersebut ke dunia pengobatan tradisional dan perdagangan hewan peliharaan.
Diperkirakan 1,5 hingga 2 juta telur dikumpulkan setiap tahun, meskipun diyakini bahwa angka saat ini mungkin jauh lebih tinggi dan terus meningkat.
Penegakan hukum yang minim di sumbernya memungkinkan praktik semacam itu terus berlanjut tanpa hambatan, yang menyebabkan eksploitasi kura-kura ini bahkan di sepanjang jalur perairan terpencil.
Selain itu, permintaan internasional untuk kura-kura juga dilaporkan meningkat. Responden survei berbicara tentang perusahaan yang mengeringkan dan menggiling kura-kura menjadi bubuk untuk memasok pasar obat tradisional di Tiongkok dan Hong Kong dan tentang pasar daring yang berkembang untuk kura-kura hidung babi hidup.
Lebih dari 30 penyitaan, yang jumlahnya mencapai lebih dari 80 ribu ekor kura-kura hidung babi, terjadi antara tahun 2003 dan 2013.
Penyitaan tersebut termasuk penyitaan tunggal besar-besaran pada tahun 2009 terhadap 12.247 ekor kura-kura hidung babi di Timika, Papua.
Baru-baru ini, 8.368 hewan ditemukan di beberapa koper dalam penyitaan yang saling terkait di Papua dan Jakarta pada bulan Januari 2014.
“Langkah-langkah penegakan hukum yang mendesak diperlukan di provinsi Papua untuk menargetkan para perantara yang beroperasi di masyarakat pedesaan,” tegas Direktur Regional TRAFFIC, Asia Tenggara, Chris Shepherd.
“Kami juga merekomendasikan pengawasan di pelabuhan-pelabuhan seperti Agats, Merauke, Timika, Jayapura, dan Jakarta, serta peningkatan penindakan di titik-titik mata rantai perdagangan internasional di Singapura, Malaysia, Thailand, Tiongkok daratan, dan Hong Kong,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kapolres Mimika Ajun Komisaris Besar Mochammad Sagi membenarkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, sekitar 10.908 ekor kura-kura moncong babi telah dilepasliarkan ke habitatnya di Sungai Wania, Pelabuhan Paumako, Kabupaten Mimika Timur, Provinsi Papua.
“Kami melepasliarkan kura-kura tersebut ke Sungai Wania di Pelabuhan Paumako,” tegasnya seraya menambahkan bahwa kura-kura moncong babi dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
Polda Mimika pernah menggagalkan upaya penyelundupan 10.908 ekor kura-kura moncong babi dari Timika pada tahun 2010, dan menangkap dua orang yang berinisial A dan YW.
Polisi telah menggerebek rumah YW di wilayah Kamoro SP1 Timika dan menyita kura-kura moncong babi tersebut setelah menerima informasi dari warga setempat.
Kura-kura tersebut merupakan hasil perburuan liar di wilayah Asmat dan seharusnya diangkut ke Jakarta.
Selain itu, PT Freeport Indonesia yang bergerak di bidang pertambangan timah, emas, dan perak di Kabupaten Mimika masih memegang peranan penting dalam upaya pelestarian fauna dan flora, termasuk dengan melepasliarkan kura-kura moncong babi yang langka tersebut.
Juru bicara PT Freeport, Ramdani Sirait mengatakan bahwa perusahaan tambang tersebut terus berupaya melestarikan satwa langka tersebut dengan memfasilitasi pelepasan mereka ke habitat aslinya di Papua.
Ia mencatat bahwa tugas tersebut dilakukan Freeport bekerja sama dengan Jaringan Pusat Penyelamatan Satwa (JPPS) di Cikananga, Sukabumi, Jawa Barat, dan Direktorat Jenderal Perlindungan Kehutanan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan.
Kura-kura berhidung babi, juga dikenal sebagai kura-kura bercangkang berlubang atau kura-kura sungai lalat, adalah spesies kura-kura asli Australia utara dan Nugini selatan.
Spesies ini adalah satu-satunya anggota genus Carettochelys, subfamili Carettochelyinae, dan famili Carettochelyidae yang masih hidup, meskipun beberapa spesies carettochelyid yang telah punah telah dideskripsikan dari seluruh dunia.
Kura-kura berhidung babi tidak seperti spesies kura-kura air tawar lainnya. Kaki mereka adalah sirip, menyerupai kaki kura-kura laut, dan hidung mereka menyerupai hidung babi, dengan lubang hidung yang berakhir di moncong berdaging, oleh karena itu nama umumnya.
Karapasnya biasanya berwarna abu-abu atau zaitun, dengan tekstur kasar, sedangkan plastronnya berwarna krem.
Kura-kura jantan dapat dibedakan dari kura-kura betina dengan ekornya yang lebih panjang dan lebih sempit.
Tidak seperti kura-kura bercangkang lunak dari famili Trionychidae, kura-kura berhidung babi mempertahankan karapas bertulang berbentuk kubah di bawah kulit kasarnya, bukan pelat datar. (.TO001/INE/KR-BSR/A014)
Sumber : antaranews.com