Skip to main content

Tarian Cinta di Hutan Papua, Kisah Reproduksi Cenderawasih Kuning-Besar

Burung Cenderawasih Kuning-Besar (Paradisaea apoda) tidak hanya memikat karena bulunya yang indah, tetapi juga dari ritual kawinnya yang unik dan memukau. Di hutan tropis Papua, burung jantan menampilkan tarian lek yang spektakuler—bukan sekadar proses biologis, melainkan sebuah “pertunjukan alam” yang menjadi bukti nyata keajaiban evolusi dan seleksi bereproduksi.

Tarian Megah di Musim Kemarau

Saat musim kemarau, antara bulan Juni hingga Oktober, aktivitas lekking Cenderawasih Kuning-Besar mencapai puncaknya. Setiap pagi sebelum matahari bersinar cerah, burung jantan akan memilih pohon tertinggi sebagai “panggung pertunjukan.” Dari sana, mereka mulai menari dengan gerakan khas sambil membuka dan mengibaskan bulu-bulu panjang berwarna kuning keemasan, menciptakan tampilan yang benar-benar memukau. Tidak hanya menari, burung jantan juga melantunkan suara panggilan khas yang bisa terdengar dari jauh. Suara ini berfungsi memikat betina sekaligus menunjukkan dominasi kepada pesaing jantan. Menariknya, dalam satu lokasi lekking, beberapa jantan juga tampil bersamaan, menjadikan kondisi ini seperti arena kompetisi spektakuler.

Sang Betina, Juri Sejati di Arena Lekking

Betina cendrawasih kuning-besar sangat selektif dalam memilih pasangan. Para betina tidak serta-merta menerima semua jantan yang unjuk gigi di lekking site. Dari kejauhan, ia mengamati tarian, postur tubuh, hingga kilau bulu para jantan, seolah sedang menilai “penampilan terbaik”. Proses ini bisa memakan waktu lama—hari demi hari, bahkan sampai berminggu-minggu. Hanya jantan dengan tarian paling memesona, tubuh proporsional, dan bulu rapi berkilau yang menjadi peluang untuk dipilih.

Empat individu cendrawasih kuning besar jantan sedang bertengger dan melakukan serangkaian gerakan tarian khas untuk menarik pasangan.

Jika hatinya sudah terpikat, betina akan mendekat dengan gerakan tenang atau memberi isyarat suara kecil sebagai tanda setuju. Perkawinan pun berlangsung singkat, hanya sekali dalam satu pertemuan. Setelah itu, betina segera pergi, membangun sarangnya sendiri, dan mengurus keturunannya tanpa campur tangan sang jantan—sebuah potret kemandirian yang luar biasa.

Ketatnya Persaingan di Arena Lekking

Hal yang cukup menarik, dalam satu musim kawin hanya sedikit jantan yang benar-benar sukses mendapatkan pasangan. Sebagian besar lainnya harus pulang dengan “tangan kosong”. Ini menjadi bukti betapa ketatnya persaingan di arena lekking—hanya jantan dengan penampilan paling prima dan tarian paling memukau yang bisa memenangkan hati betina. Sementara itu, para jantan yang gagal tidak akan menyerah. Mereka akan kembali mencoba di musim berikutnya, atau bahkan pindah ke lekking areal lain untuk mencari peluang baru.

Strategi Cerdas Reproduksi Cenderawasih

Penelitian IPB dan TSE Group yang telah dilakukan pada tahun 2022 mengungkap pola unik dalam perilaku kawin Cenderawasih Kuning-Besar. Alih-alih bertepatan dengan puncak musim buah, musim kawin justru terjadi lebih awal. Strategi ini ternyata sangat cerdas: ketika piyik menetas dan membutuhkan banyak asupan, pohon-pohon pakan sudah berbuah lebat. Sinkronisasi alami ini memastikan anak burung mendapatkan sumber makanan yang cukup sejak awal kehidupannya, sekaligus menjadi bukti bagaimana evolusi membentuk keseimbangan antara perilaku satwa dan ketersediaan sumber daya alam.

Mengapa Cenderawasih Kuning-Besar Hanya Ditemukan di Hutan Papua?

Cendrawasih Kuning Besar tertangkap kamera di Hutan Asiki, Papua Selatan

Cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), salah satu burung paling ikonik dari Tanah Papua, dikenal karena keindahan bulunya yang mencolok dan tarian kawin yang memesona. Burung yang sering dijuluki “burung surga” ini memiliki daya tarik tak hanya dari segi visual, tetapi juga dari sisi ekologi. Menariknya, cenderawasih kuning-besar hanya dapat ditemukan secara alami di hutan Papua bagian selatan dan pulau-pulau sekitarnya.

Rahasia apa yang menjadikan hutan Papua menjadi satu-satunya rumah alami bagi burung cenderawasih kuning besar? Berikut beberapa keistimewaan habitat ini begitu spesial.

Hutan Hujan Tropis yang Lembap dan Stabil

Habitat utama cenderawasih kuning-besar berada di hutan hujan tropis dataran rendah Papua. Sebuah hutan yang selalu hijau, dengan udara hangat dan lembap yang hampir tak pernah berubah sepanjang tahun. Hujan turun seolah tak pernah absen—dengan intensitas 2.500 hingga lebih dari 5.000 milimeter per tahun—menciptakan suasana basah yang menjadi surga bagi cenderawasih. Stabilnya suhu dan tingginya kelembapan membuat hutan ini seperti “rumah ideal” bagi mereka untuk tempat mencari buah, bertengger, hingga menari saat musim kawin.

Hutan Asiki bisa dibilang rumah impian bagi Cenderawasih Kuning-Besar. Suhu udaranya stabil, hangat tetapi tidak berlebihan, rata-rata berkisar 25–26°C sepanjang tahun. Ditambah lagi, hujan di daerah ini selalu turun sepanjang tahun — curah hujan rata- rata mencapai 3.395 mm per tahun. Kelembapan yang tinggi menjadikan hutan terasa sejuk sekaligus lembap, kondisi yang ideal bagi tumbuhan untuk tumbuh subur dan menghasilkan buah—sumber makanan utama cenderawasih.

Kombinasi iklim yang stabil, curah hujan tinggi, dan kelembapan hutan Papua menciptakan ekosistem yang benar-benar mendukung. Bagi cenderawasih kuning-besar, kestabilan lingkungan seperti ini sangat penting, terutama karena perilaku berkembang biak mereka—seperti tarian lekking yang ikonik—sangat bergantung pada keseimbangan ekosistem hutan.

Tutupan Kanopi Hutan yang Rapat

Bagi cenderawasih kuning-besar, hutan adalah rumah sekaligus panggung kehidupan. Lapisan kanopi yang rapat dan menjulang tinggi menyediakan semua yang mereka butuhkan dari tempat bertengger untuk beristirahat, sudut aman untuk bersarang, hingga arena hijau untuk berlindung. Di antara dahan pohon tinggi yang menjulang, para jantan menari dengan penuh energi, memamerkan bulu kuning keemasan yang berkilau untuk menarik perhatian betina.

Dari hasil penelitian di Hutan Asiki ditemukan bahwa tempat habitat Cenderawasih Kuning-Besar memiliki kanopi dengan rata-rata 24,5 meter. Bayangkan, hutan ini seperti gedung bertingkat dengan empat lapisan utama: kanopi atas, kanopi tengah, lapisan semak, dan vegetasi penutup tanah. Selain itu, kerapatan pohon di hutan ini juga masih sangat tinggi, mencapai lebih dari 70%. Kondisi ini menciptakan suasana yang teduh dan lembap, sebuah habitat yang cocok untuk menjaga kelangsungan hidup cenderawasih kuning-besar.

Jauh dari Aktivitas Manusia

Pohon yang menjadi tempat lekking jauh dari aktivitas manusia

Burung cendrawasih sangat sensitif terhadap gangguan—bahkan suara langkah kaki atau obrolan kecil bisa membuatnya berhenti menari. Ruang tenang di hutan Papua menjadi syarat penting bagi kelangsungan hidup mereka. Analisis spasial menunjukkan rata-rata habitat cenderawasih berada cukup jauh dari aktivitas manusia, sekitar 2,2 km dari jaringan jalan, 2 km dari perkebunan kelapa sawit, dan 800 meter dari lahan terbangun. Hal ini menegaskan semakin jauh dari aktivitas manusia, semakin besar peluangnya untuk tetap bertahan.

Sebagian besar hutan Papua masih terjaga dan jauh dari pembangunan. kawasan yang dijamah oleh manusia sehingga menjadikan panggung utama bagi burung cenderawasih untuk menari, mencari makan, dan berkembang biak tanpa gangguan. Hutan yang sunyi dan rimbun memberi ruang aman bagi mereka untuk mempertahankan tarian lekking yang megah sekaligus melanjutkan siklus hidupnya. Pendekatan konservasi diperlukan dengan melibatkan pengelolaan kawasan dengan penuh kehati-hatian. Hal ini menjadi kunci penting untuk memastikan burung surga ini tetap bisa menari bebas di hutan Papua.

Cendrawasih Kuning Besar, Permata Asli Papua dengan Ciri Khas “Menari”

Hutan papua sebagai salah satu hutan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia didalamnya menjadi tempat salah satu spesies burung yang begitu memikat — Cenderawasih Kuning Besar (Paradisaea apoda). Burung ini termasuk anggota keluarga besar Paradiseaeidae, yang dikenal dunia karena keindahannya.

Keindahan Bulunya Menjadi Ancaman

Cenderawasih Kuning Besar memiliki keistimewaan tersendiri, bulu kuning keemasan yang berkilau saat terkena sinar matahari terlihat seperti makhluk dari dunia lain. Tidak heran jika burung ini sering disebut sebagai “penari surga.” Burung cantik ini hanya bisa ditemukan di tanah Papua, sebuah harta karun hidup yang tidak dimiliki tempat lain di dunia.

Sejak lama, bulu cendrawasih diburu untuk hiasan dan perdagangan ilegal. Ditambah lagi, perusakan habitat akibat penebangan hutan membuat ruang hidup mereka semakin menyempit. Padahal, hilangnya burung ini bukan hanya kehilangan satu spesies, tetapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem di sekitarnya.

Pengamatan Lebih Mendalam

Sejak 2022 para peneliti dari IPB University dan TSE Group melakukan kajian terkait Cendrawasih Kuning Besar. Kami memulai dengan pencarian habitat, menghitung jumlah individu, hingga mencatat perilaku unik saat musim kawin—yang dikenal dengan istilah tarian lekking.

Hasil Penelitian

Pengamatan beberapa tahun ini ditemukan jenis yang sangat menarik, dari hutan konsesi milik PT Inocin Abadi, para peneliti menemukan 27 ekor cenderawasih kuning besar—10 jantan dengan bulu mencolok, dan 17 betina yang setia mengamati tarian mereka. Sementara, di areal PT Tunas Timber Lestari, tercatat ada 15 ekor betina yang hidup di sana.

Selain jumlah individu, peneliti juga menemukan pohon lek—tempat para cenderawasih jantan melakukan “pertunjukan tari” untuk menarik hati betina. Di areal PT Inocin Abadi, ditemukan 2 pohon lek, sementara di PT Tunas Timber Lestari ada 6 pohon lek. Pohon-pohon ini bukan sembarang pohon; umumnya berasal dari jenis jambuan, matoa, kelat, hingga medang. Meski diameternya tak terlalu besar (sekitar 33–70 cm), pohon-pohon ini menjulang lebih tinggi daripada pepohonan lain di sekitarnya.

Syzygium sp. Tree as the Lek Site of the Greater Bird-of-paradise

Menariknya, pohon lek hampir selalu berupa pohon emergent—pohon yang menjulang lebih tinggi dari kanopi sekitarnya. Dari ketinggian ini, burung jantan bisa lebih mudah memamerkan tariannya sekaligus memanggil betina dengan suara lantang. Musim lekking biasanya berlangsung antara Juli hingga September, dengan puncak pada bulan Agustus. Saat itu, hutan Papua seakan berubah menjadi panggung alami. Para jantan menari, melompat, dan mengepakkan sayap keemasan mereka, sementara para betina dengan teliti memilih pasangan terbaik. Sebuah drama alam yang hanya bisa disaksikan di hutan-hutan Papua.

 

Berfungsi sebagaiIndikator Kesehatan Hutan”.

Jika cenderawasih masih menari di suatu kawasan berarti ekosistem di sana masih terjaga: kelestariannya. Pohon-pohon besar masih berdiri, rantai makanan masih berjalan, dan iklim mikro di dalam hutan tetap stabil. Kehilangannya bukan hanya hilangnya satu spesies cantik, tetapi juga sinyal kerusakan yang lebih besar bagi seluruh ekosistem.

Melestarikan cenderawasih kuning besar berarti melestarikan kehidupan hutan Papua secara keseluruhan. Pohon-pohon tinggi tempat mereka menari, satwa lain yang hidup di sekitarnya, hingga tanah yang menopang itu semua saling terhubung. Upaya konservasi tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus melihat hutan sebagai sebuah kesatuan hidup.

Dengan pendekatan terpadu—antara ilmu pengetahuan, konservasi, dan keterlibatan masyarakat—cenderawasih kuning besar bisa terus menari di hutan Papua. Mereka akan tetap menjadi “permata hidup” yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga menjadi simbol harapan bagi kelestarian hutan dan generasi mendatang.

Kura-Kura Moncong Babi: Menjaga Keseimbangan antara Tradisi dan Konservasi di Papua

Pernahkah kamu mendengar kura-kura moncong babi (Carretochelys insclupta)? Spesies ini unik dengan moncong mirip babi dan tungkainya menyerupai sirip, salah satu ciptaan alam yang paling menarik. Ditemukan di sungai – sungai air tawar dan muara di Australia utara dan Papua Nugini Selatan, kura – kura ini tidak hanya sebagai keajaiban evolusi tetapi juga simbol keseimbangan yang rapuh antara aktivitas manusia dan konservasi satwa liar.

Moncong dan tungkai Kura-kura moncong babi

Spesies yang Terancam Punah

Kura – kura moncong babi merupakan satu-satunya anggota keluarga Carretochelyidae yang masih hidup, menjadikan keunikan evolusioner (beradaptasi) juga terdaftar sebagai spesies Terancam Punah oleh IUCN. Namun, ada pihak yang mengancam kelangsungan hidup spesies ini dengan mengumpulkan telur dari sarangnya, berasal dari masyarakat setempat.

Setiap tahun, kura- kura moncong babi betina muncul ke tepi sungai berpasir untuk bertelur. Lokasi sarang ini sering kali terletak di tanah adat di Papua Selatan, dimana masyarakat adat setempat telah memanen telur kura – kura selama beberapa generasi. Bagi masyarakat, telur kura-kura merupakan sumber daya yang berharga, menyediakan makanan dan pendapatan.

Didaerah seperti Sungai Kao, pengumpulan telur kura – kura moncong babi adalah tradisi yang sudah lama berlangsung. Masyarakat setempat , berasal dari klan yang memiliki hak adat atas tanah merupakan pengumpul utama. Mereka bukan hanya pemburu yang terampil tetapi juga ahli dalam menemukan sarang kura – kura yang tersembunyi di bawah pasir. Dengan menggunakan pengetahuan secara turun – temurun, mereka dengan hati – hati menggali telur, memastikan tidak ada yang rusak dalam prosesnya.

Warna putih pada cangkang menandakan telur kura-kura moncong babi telah terkubur beberapa hari akibat pasang surut air di Sungai Kao.

Tantangan Panen Berkelanjutan

Berdasarkan hasil survei lapangan dan wawancara tim Konservasi Papua, di wilayah seperti Sungai Kao, diperkirakan dipanen hingga 69.000 telur kura – kura moncong babi setiap musim bertelur. Para pengumpul mengumpulkan setiap telur dari sarang yang mereka temukan. Meskipun fokus utama pada telur, beberapa kura – kura dewasa juga diambil untuk dikonsumsi secara pribadi.

Posisi sarang ditemukan menggunakan tusuk batang besi dan telur kura – kura moncong babi yang diambil dari sarang.

Menariknya, penjualan kura – kura moncong babi tidak dalam bentuk telur melainkan anak kura – kura yang baru menetas sehingga para pengumpul harus menginkubasi telur mereka sendiri, baik di kamp darurat atau di desa mereka. Meskipun praktik ini dapat memastikan pasokan anak kura – kura yang stabil untuk pasar, hal ini juga menyoroti perlunya praktik panen berkelanjutan yang mengutamakan konservasi.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kura – kura moncong babi sebagai spesies yang dilindungi dan merekomendasikan kuota panen nasional sebesar 10.000 dalam bentuk telur, dengan lokasi panen di Mimika dan Asmat.

Hanya satu perusahaan yang telah diberikan izin untuk mengumpulkan telur dari alam dan menginkubasinya. Terdapat ketidakseimbangan yang jelas antara kuota dan jumlah telur yang dikumpulkan oleh masyarakat setempat.

Menjaga keseimbangan: Tradisi dan Konservasi

Kura – kura moncong babi menghadapi tantangan yang unik. Di satu sisi, telurnya merupakan sumber daya penting bagi masyarakat setempat, yang erat kaitannya dengan praktik budaya dan perekonomian. Di sisi lain, panen yang tidak terkendali dapat mengancam kelangsungan hidup spesies tersebut. Lalu bagaimana kita menciptakan keseimbangan?

Diperlukan mekanisme yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam panen legal tanpa mengorbankan keuntungan ekonomi dan manfaat konservasi. Kita juga perlu meningkatkan kesadaran. Jika masyarakat dapat memahami nilai spesies dalam ekosistem dan rasa tanggung jawab ini, mungkin saja separuh dari anak kura-kura dapat dilepaskan kembali ke alam liar.

Pemikiran Akhir

Kisah kura-kura moncong babi mengingatkan akan hubungan kompleks antara manusia dan alam. Kisah ini menantang kita untuk menemukan cara hidup saling berdampingan dengan satwa liar, menghormati praktik tradisional sekaligus memastikan kelangsungan hidup spesies yang rentan.

Pionir Sejarawan Ilmu Pengetahuan dan Penjelajah Burung Cenderawasih Kuning Besar

Alfred Russel Wallace

Perintis Seleksi Alam dan Biogeografi

Alfred Russel Wallace, sering kali dibayangi oleh Charles Darwin, adalah seorang ilmuwan perintis yang karyanya membentuk pemahaman tentang evolusi dan keanekaragaman hayati. Berikut gambaran singkat kontribusi utamanya:

Ditahun 1858, saat berada di Kepulauan Melayu, Wallace mengirimkan Charles Darwin sebuah makalah teori evolusi melalui seleksi alam. Hal ini menjadi pendorong keduanya menerbitkan ‘’Surat Wallace-Darwin’’. Yang memperkenalkan ide tersebut kepada dunia. Penemuan independen Wallace menyoroti pentingnya ekologi dalam memahami evolusi.

Ditahun 1859, Wallace mengusulkan ‘’garis wallacea’’, garis imajiner memisahkan wilayah fauna yang berada di Asia Tenggara dan Australia. Garis ini melintasi Kepulauan Melayu, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Bali (di barat) dan Lombok (di timur). Garis ini mengungkapkan bagaimana geografi mempengaruhi distribusi spesies Konsep ini menjadi landasan bio-geografi, yang menunjukkan keanekaragaman hayati unik di wilayah tersebut.

Ilustrasi peta garis wallacea dari rimbakita.com

Eksplorasi Wallace selama delapan tahun di kepulauan Melayu mencapai puncak dalam bukunya yang terbit pada tahun 1869, The Malay Archipelago: The Land of the Orangutan and The Birds Paradise, Ia mendokumentasikan hubungan antara spesies dan lingkungannya, memberikan wawasan utama tentang bagaimana ekologi membentuk evolusi. Karyanya juga mengisyaratkan keberadaan daratan kuno yang tenggelam, menghubungkan distribusi spesies dengan sejarah geologi bumi.

Mengungkap Rahasia Burung Cenderawasih: Warisan Wallace dalam Konservasi

Alfred Russel Wallace, naturalis perintis yang eksplorasinya di Kepulauan Melayu mengungkap keajaiban keanekaragaman hayati Asia Tenggara. Dari hutan lebat Kalimantan hingga pulau – pulau terpencil di Papua Nugini, karya Wallace tidak hanya memajukan ilmu pengetahuan alam tetapi juga menyoroti kebutuhan mendesak akan konservasi terutama untuk burung cenderawasih yang ikonik.

Mitos Burung Cenderawasih

Pada Abad ke-18 dan ke-19, burung cenderawasih memikat imajinasi orang Eropa. Bulunya yang memukau melambangkan kemewahan, kekayaan, dan status, menghiasi topi, gaun, dan pakaian formal. Namun, Wallace mengungkapkan kebenaran yang nyata: ketertarikan Eropa dibangun di atas mitos dan kesalahpahaman.

Melalui perjalanannya (Malaya, Pulau Nicobar, Filipina, Kepulauan Solomon, di luar Papua Nugini), Wallace memperkenalkan dunia pada habitat burung yang sebenarnya – hutan aslinya di Papua dan kepulauan Aru. Ia membantah kisah romantis tentang burung yang terbang abadi, menekankan peran ekologisnya dan kebutuhan untuk melindungi keberadaannya yang rapuh.

Burung Cenderawasih Kuning Besar bertengger di ranting pohon.

Sisi Gelap Perdagangan Bulu

Pengamatan Wallace mengungkap dampak buruk dari perdagangan burung liar. Permintaan Eropa terhadap bulu mendorong eksploitasi yang tidak terkendali dengan pemburu lokal memanen burung secara berlebihan untuk memenuhi pasar luar negeri. Wallace mencatat kurangnya peraturan dan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap populasi burung.

Wallace menyoroti ironi: sementara orang Eropa mengagumi keindahan burung tersebut, mereka tidak megetahui kehidupan burung tersebut di alam liar. Burung cenderawasih menjadi simbol kemewahan, tetapi dengan mengorbankan kelangsungan hidupnya.

Seruan Wallace untuk Konservasi

Karya Wallace lebih dari sekadar penemuan – Karyanya merupakan seruan untuk bertindak. Ia mendokumentasikan pentingnya ekologis burung cenderawasih dan memperingatkan tentang bahaya eksploitasi yang tidak terkendali. Wawasannya menjadi dasar bagi upaya konservasi modern, mengingatkan kita tentang keseimbangan rumit antara keinginan manusia dan kebutuhan alam.

Saat ini, warisan Wallace ‘’cenderawasih sebagai Pemegang Dunia’’ tetap hidup sering terus berusaha melindungi burung cenderawasih dan habitatnya. Perjalanannya melalui The Malay Archipelago tidak hanya membantah mitos tetapi juga menginspirasi pemahaman lebih dalam dunia alami kita.

Faktor terjadinya Kehilangan Habitat Kura – Kura Moncong Babi di Papua Selatan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No. P. 106/MENLHK/SETJEN/KUM. 1/12/2018, Kura-kura Moncong Babi (Carettochelys insculpta) telah ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi di Indonesia dan tergolong dalam status Appendix II peraturan perdagangan internasional terhadap spesies. Meskipun telah mendapat pengakuan sebagai satwa yang dilindungi, masih terdapat sejumlah kasus perdagangan hewan eksotis, praktik konsumsi, serta penggunaannya dalam pengobatan tradisional dan kosmetik.

Eksploitasi habitat secara masif masih terjadi di Papua, tercatat 20 kasus antara tahun 2013 hingga 2020 dan 1 kasus tambahan pada tahun 2022. Berikut adalah contoh bukti perdagangan ilegal yang berhasil dikumpulkan oleh pihak berwenang:

No Tanggal Jenis Jumlah Pelaku Pengaman Lokasi Penemuan
1 07-Mar-22 Carretochelys Insculpta 472 ekor MIH Wildlife Rescue Unit (WRU) BKSDA Kota Payakumbuh

(sumber: https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/6513/penyerahan-tahap-2-kasus-perdagangan-kura-kura-moncong-babi-carettochelys-insculpta).

Sanksi pidana terhadap pelaku perdagangan ilegal yang tercantum di dalam Pasal 21 Ayat 2 Huruf d juncto Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

No Tanggal Jenis Jumlah Pelaku Pengaman Lokasi Penemuan
1 19- Jan-19

 

Carretochelys Insculpta 1.190 ekor Pengadilan Negeri Merauke Bandar Udara Mopah Merauke

(Sumber: https://www.wwf.id/id/blog/kura-kura-moncong-babi-go-international)

Dari kasus tersebut, terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama empat bulan oleh Pengadilan Negeri Merauke dengan denda sebesar Rp. 5.000.000; jika tidak dapat membayar denda, terdakwa akan menggantinya dengan tambahan dua bulan hukuman penjara.

Status kura-kura moncong babi telah dikategorikan oleh IUCN dalam status terancam kepunahan, dengan dampak terbesar adanya perdagangan ilegal melebihi kuota maksimum yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Indonesia. Meskipun Peraturan Pemerintah Indonesia terkait Kura-Kura Moncong Babi mengklasifikasikannya sebagai “Satwa Buru”, pemanenan tetap harus mengikuti kuota yang diizinkan, yakni maksimum 10.000 telur.

Berdasarkan hasil penelitian tim konservasi Papua pada tahun 2022, terdapat praktik eksploitasi yang signifikan. Komunitas lokal (pemanen/pemburu) telah mengambil sebanyak 69.000 telur (dari 23 marga rata-rata diambil 3.000 telur per marga) untuk dijadikan sumber penghasilan yang dapat diperjualbelikan ke luar wilayah Papua. Ditemukan adanya masyarakat setempat menyimpan hasil panen sekitar 4.000 telur, dimana selama satu bulan (Agustus) mereka memperoleh 2.000 telur yang disimpan dalam wadah khusus. Dampak serius dari eksploitasi ini berakibat pada ancaman kepunahan

Beberapa faktor yang menjadi ancamannya, antara lain:

  1. Gangguan oleh manusia.
  2. Perubahan iklim yang dapat memicu banjir, mengakibatkan telur di sarang menjadi rusak dan tenggelam.
  3. Ancaman dari predator alami di habitat (seperti biawak), dan lain-lain.

Papua Konservasi terus berupaya melalui kerja sama TSE Group dengan IPB University untuk menjaga ekosistem Papua. Keberlanjutan populasi kura-kura moncong babi berhubungan erat dengan budaya masyarakat Papua yang telah diwariskan dari generasi sebelumnya agar masyarakat lebih memahami hubungan antara populasi satwa liar dan budaya setempat. Diperlukan penelitian mendalam dan kampanye yang mendorong masyarakat untuk mematuhi peraturan pemerintah terkait pembatasan dalam pemanenan, penjualan, serta pemanfaatan telur dan kura-kura moncong babi.

Selain itu, diperlukan program ranching untuk memfasilitasi pemanfaatan telur kura-kura moncong babi secara legal. Ketentuan ini menetapkan 50% dari pemanfaatan telur kura-kura moncong babi harus dibatasi di alam, sedangkan 50% dapat digunakan oleh masyarakat Papua untuk dijual, berdasarkan Peraturan Pemerintah Indonesia (SK. Menteri LHK No. 65/MENLHK/KSDAE/KSA. 2/3/2021, tanggal 3 Maret 2021). (https://balaikliringkehati.menlhk.go.id/v2/wp-content/uploads/2024/07/Kuota-penangkapan-pengambilan-TSL-2024.pdf).